Selamat Melaksanakan Brata Penyepian. pengertianartidefinisidari.blogspot.com, - Upacara pangrupukan dalam rangkaian Hari Raya Nyepi dilaksanakan pada bulan mati (Tilem) sasih kesembilan (Sasih Kasanga) karena pada hari ini (Tilem) merupakan hari yang bertepatan dengan bulan mati.
Pada hari Tilem merupakan hari baik terakhir melakukan upacara bhuta kala, kemudian beralih ke hari baik untuk melakukan upacara dewa yadnya (korban suci kepada Dewa).
Baca: KATA-KATA UCAPAN SELAMAT HARI SUCI NYEPI TAHUN BARU SAKA 2022/1944
Sesungguhnya, upacara pangrupukan yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kasanga itu memiliki makna fisiologis yang sangat dalam bagi umat Hindu di Bali, yaitu kasanga berarti kesembilan. Angka sembilan merupakan angka terakhir untuk selanjutnya berganti dengan angka yang mengandung nol (0), misalnya setelah sembilan akan disusul oleh angka sepuluh, setelah sembilan belas akan disusul oleh dua puluh, dan seterusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah sembilan akan terjadi peralihan perhitungan. Kecuali itu, menurut kosmologi umat Hindu bahwa angka sembilan juga mengacu kepada ke sembilan penjuru arah mata angin. Masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa di sembilan arah mata angin itu bersemayam para Dewata, yaitu di arah timur Dewa Iswara, di tenggara Dewa Maheswara, di selatan Dewa Brahma, Dewa Rudra di barat daya, Dewa Mahadewa di arah barat, Dewa Sangkara di barat laut, Dewa Wisnu di arah utara, Dewa Sambu di timur laut, dan Dewa Siwa bersemanyam di tengah-tengah. Hal ini lazim dikenali dengan istilah Dewata Nawa Sanga (artinya sembilan dewa yang bersemanyam di masing-masing arah mata angin).
Masyarakat Hindu di Bali juga mengenal konsep Kala Ya Dewa Ya. Konsep ini mengandung makna bahwa kala atau waktu itu terdiri atas waktu (hari) baik dan waktu buruk. Hari baik dihubungkan dengan turunnya para Dewa, sedangkan hari buruk diasosiasikan dengan berkeliarannya para Bhuta Kala. Oleh karena itu, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala.
Dari dimensi makrokosmos, umat yang menganut Agama Hindu di Bali hanya memandang penting dan pokok: (1) arah timur dengan urip 5, warna putih; (2) arah selatan dengan urip 9, warna merah; (3) arah barat dengan urip 7, warna kuning; (4) arah utara dengan urip 4, warna hitam, dan; (5) arah tengah dengan urip 8, warna brumbun (campuran dari kelima warna itu). Jika dijumlahkan urip-nya menjadi 33.
Dari dimensi mikrokosmos, para Dewa itu juga dapat bersemanyam di dalam tubuh manusia; Dewa Wisnu di empedu, Dewa Sambu di pancreas, Dewa Iswara di jantung, Dewa Maheswara di paru-paru, Dewa Brahma di hati, Dewa Rudra di usus, Dewa Mahadewa di ginjal, Dewa Sangkara di limpa, dan Dewa Siwa ditumpukan hati. Dengan demikian, pada hari raya Nyepi, para dewa itu disemanyamkan dan dipuja pada diri manusia.
Di samping itu, menurut persepsi Umat Hindu bahwa baik alam semesta (makrokosmos) yang disebut bhuana agung maupun diri manusia (mikrokosmos) yang disebut bhuana alit pada hakikatnya terwujud dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta, yang terdiri atas : (1) zat padat/prthiwi; (2) zat cair / apah; (3) cahaya / teja; (4) udara / bayu; (5) akasa/ether. Pada hari raya pangrupukan unsur-unsur itu diupacarai agar bebas dari gangguan bhuta kala.
Sesungguhnya, umat yang beragama Hindu di Bali memandang alam semesta (makrokosmos) itu terdiri atas tiga susunan, yakni bhur loka, bhuwah loka, dan swah loka. Dalam hal ini, bhur loka adalah dunia manusia, bhuta k ala, dan makhluk halus lainnya, bhuah l oka adalah dunianya para roh, dan sw ah l oka adalah dunianya para Dewa/ Tuhan (Jingga, 1967 : 23). Akan tetapi, derajat Bhuta Kala dipandang lebih rendah daripada derajat manusia. Oleh karena itu, penghormatan kepada bhuta kala disimbolkan dengan gerakan tangan ke bawah (ke bumi).
Menurut persepsi umat Hindu, Dewa itu merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Mahaesa/Ida Sang Hyang Widi Wasa menurut peran-Nya masing-masing dan tidak bisa dilihat oleh manusia. Bhuta Kala adalah sejenis makhluk halus ciptaan Tuhan yang dapat mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit).
Ditinjau dari dimensi waktu bahwa pada hari Tilem Kasanga bertepatan dengan waktu pergantian tahun menurut caka. Pada hari tilem kasanga ini menjadi peralihan tahun Caka menurut perhitungan Hindu Bali. Keadaan ini yang menyebabkan bahwa Hari Nyepi merupakan tahun caka baru yang jatuh pada Sasih Kadasa.
Kata kadasa pada sasih kadasa di samping berarti ke sepuluh juga dapat diinterpretasikan dengan kata yang berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi diadakan pada paroh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (sasih kadasa), merupakan hari pertama yang dipandang hari bersih untuk memulai dengan lembaran hidup baru pada tahun baru Caka.
Proses pelaksanaan rangkaian upacara hari raya Nyepi di Bali dikoordinasikan dan diawasi oleh masing -masing Kepala Desa Adat bersama stafnya dengan berpedoman pada pedoman umum yang dibuat oleh Parisada Hindu Dharma Tingkat I Bali.
Perayaan Hari Raya Nyepi itu sudah menjadi hari libur n asional yang diselenggarakan setiap tahun sekali, tepatnya pada pergantian tahun baru Caka dengan rangkaian upacara sebagai berikut.
Dengan demikian, pelaksanaan upacara ini di Bali dise but upacara korban ( mecaru) yang berfungsi menjaga keseimbangan alam semesta maupun diri manusia dari gangguan bhuta kala. Adapun sesajen caru yang digunakan dalam upacara pangrupukan tersebut sebagai berikut:
Apabila diperhatikan nasi sasah dan segehan agung itu masing-masing berjumlah sembilan tanding dan 108 tanding. Ini menunjukkan pada angka kelipatan sembilan, yang berarti bahwa ada kaitannya dengan Dewata Nawa Sanga yang menempati arah mata angin di alam semesta ini dan juga menempati pada bagian -bagian tertentu dari organisme manusia, seperti telah disebutkan di atas. Ayam brumbun (amancawarna) adalah seekor ayam yang warna bulunya terdiri atas warna merah, putih, kuning, dan hitam. Ayam brumbun biasanya dipakai sesuai dengan urip panca desa (bilangan 33).
Kulit ayam brumbun itu dikelupas, dagingnya diolah dijadikan caru sebanyak delapan tanding (takaran), sesuai dengan warna brumbun, seperti telah disebutkan di atas. Selanjutnya, tetabuhan dibuat dari tetesan darah binatang dengan memotong leher ayam. Inilah yang berkembang menjadi tabuh rah/tajen. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tabuh rah pada setiap upacara pangrupukan dan upacara pecaruan di tingkat desa adat di Pulau Bali. Menurut kepercayaan umat yang beragama Hindu di Pulau Bali tetabuhan ini adalah minuman sang bhuta kala, sedangkan lauk-pauk yang disukai oleh sang bhuta kala itu adalah segala yang berbau amis dan babad (jejeroan) mentah.
Selain itu, bentuknya seperti tampak dara atau swastika netral yang menyimbolkan arah mata angin. Apinya merupakan simbol penyaksi dan pengantar diselenggarakannya upacara itu.
Pelaksanaan upacara pacaruan di tingkat desa adat pada umumnya dilaksanakan di perempatan jalan atau pertigaan jalan, karena tempat itu dipandang keramat dan tempat tinggal para bhuta kala. Pelaksaan upacaranya dilakukan pada saat tengai tepet (peralihan dari pagi hari ke siang hari) atau pada waktu sandikala (peralihan siang hari ke malam hari), karena menurut keyakinan Umat Hindu bahwa pada saat peralihan itu para bhuta k ala berkeliaran. Dalam hal ini, pada waktu ngayat tangan pemangku/pinandita yang memimpin upacra menghadap ke bawah/ ke bumi, karena caru itu disuguhkan kepada bhuta kala yang derajatnya lebih rendah daripada manusia, agar tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung). Pelaksanaan upacara pecaruan di tingkat desa adat didahulukan, karena setiap rumah tangga akan memohon tirta caru ke desa setelah selesai pecaruan di desa adat setempat.
Kemudian, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan agung /pecaruan dan nasi sasah sebanyak 108 tanding di depan pintu rumah. Selesai menghaturkan segehan agung/pecaruan, anggota keluarga mebyakala, yaitu upacara pembersihan diri (bhuana alit) dari gangguan bhuta kala. Oleh karena itu, pada waktu natab sesajen byakala tangan diarahkan ke bawah atau ke bumi pula.
Selanjutnya, diadakan pangrupukan yang bertujuan mengusir para bhuta kala dari pekarangan rumah dan bilik-bilik bangunan rumah agar kembali ke tempatnya masing -masing. Alat perlengkapan yang digunakan, antara lain obor, kentungan, dan perlengkapan lainnya. Caranya adalah obor dinyalakan dan kentungan (kulkul) dipukul-pukul sambil mengelilingi halaman rumah dan berputar ke kiri sebanyak lima kali (kelima arah mata angin), yang berarti menuju ke bawah, mengingat derajat bhuta kala itu lebih rendah dari manusia.
Apabila diperhatikan mantra-mantra yang diucapkan pada waktu penyelenggaraan upacara itu menunjukkan bahwa unsur pembersihan (penyupatan) di sini tidaklah bersifat nyata, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah, yaitu meningkatkan taraf hidup bhuta k ala dan binatang yang dijadikan caru/korban menuju ke alam manusia. Selain itu, memohon agar para bhuta kala tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit), sebaliknya dapat memberikan restu dan keselamatan.
Di tingkat d esa adat, upac ara pangrupukan disertai aksi ogoh-ogoh yang diiringi bunyi- bunyian seperti gong baleganjur, kentungan (kulkul), dan alat sejenis. Secara simbolis, ogoh-ogoh itu merupakan manifestasi dari bhuta k ala yang biasanya berwujud seperti raksasa dengan mata melotot dan mulut menganga. Dengan demikian, wujud ogoh-ogoh tersebut sangat seram.
Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir ini, pada hari pangrupukan itu teruna-teruni di Bali mengadakan lomba ogoh-ogoh, antara lain di tingkat banjar/lingkungan, desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Pada arak-arak atau pawai ogoh-ogoh dilaksanakan dilengkapi dengan barisan di bagian depan yang membawa obor dan diiringi dengan gambelan bale ganjur. Walaupun di suatu banjar atau desa tidak mengadakan lomba ogoh-ogoh tetapi tetap dilaksanakan arak-arakan ogoh-ogoh untuk meriahkan hari pangrupukan di lingkungannya masing-masing.
Pada malam pangrupakan ini, biasanya di Bali, baik tua-muda maupun pria–perempuan bersuka ria merayakan pangrup ukan ini, ada yang berjalan-jalan di lingkungan wilayah banjar atau desanya sambil mengarak ogoh-ogoh. Ada juga sebagian yang duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menonton pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh sampai dini hari. Biasanya arak -arak ogoh-ogoh terjadi saling balas-balasan antara banjar satu dengan banjar lainnya, atau desa satu dengan desa lainnya.
Untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi konflik secara fisik maka pihak keamanan setempat mengerahkan pecalang dan hansip, serta dibantu oleh personil dari kepolisian tingkat kecamatan. Pada malam pengrupukan inilah sebagai momentum untuk mengintegrasikan warga banjar dan atau desa setempat karena di antara seringkali dapat saling bertegur sapa sambil berjalan-jalan atau duduk-duduk di pinggir jalan. Bahkan, melalui lomba ogoh-ogoh timbul kreativitas generasi muda di Bali dalam menciptakan hasil karya nyata yang berupa ogoh -ogoh serta atraksi seni (tari-tarian, tetabuhan gambelan, dan sejenisnya) untuk menyamarakkan lomba ogoh-ogoh tersebut.
Malam pangrupukan ini dirayak an sambil menyambut malam tahun baru caka sampai pukul 05.00 (WITA) pagi. Setelah itu, ogoh-ogoh dibakar, sebagai simbol bahwa para bhuta kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing. Selanjutnya, menjelang matahari terbit di ufuk timur umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi.
Hari Nyepi dirayakan pada tanggal 1 bulan ke 10 Caka, atau dengan sebutan lain “Penanggalan Apisan Sasih Kedasa”.
Ketika merayakan hari raya nyepi itu, umat Hindu di Bali memperoleh pembelajaran untuk mengendalikan diri dengan cara tidak bepergian, tidak beraktivitas/bekerja, berpuasa (tidak makan dan minum), tidak melakukan aktivitas yang dapat mencemarkan badan. Pengendalian diri ini dilakukan dengan cara mengadakan catur brata penyepian.
Dengan melaksanakan catur brata penyepian ini, umat Hindu di Bali bisa konsentrasi atau fokus dengan tenang dan khusuk untuk kembali ke jati diri, yang ditempuh dengan cara meditasi, shamadi, perenungan diri sendiri di suasana yang sunyi-senyap atau “keheningan”.
Catur Brata penyepian (pengendalian diri) dilaksanakan selama 24 jam, yakni sehari setelah Tilem Sasih Kasanga (Tilem Kasanga), tepatnya pada paroh terang pertama masa kesepuluh/ panaggal sasih kadasa.
Pelaksanaan catur brata p enyepian itu mulai pukul 05.00 sampai pukul 05.00 besok pagi harinya, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
Pada Hari Raya Nyepi, suasana di Bali sepanjang hari menjadi sunyi-senyap, dan pada malam harinya gelap gulita. Tidak ada orang yang lalu lalang, semua orang tinggal di rumahnya masing-masing menjalani brata penyepian sampai menjelang matahari terbit besok hari-nya, tepatnya pada hari mulai Ngembak Geni.
Pada hari Tilem merupakan hari baik terakhir melakukan upacara bhuta kala, kemudian beralih ke hari baik untuk melakukan upacara dewa yadnya (korban suci kepada Dewa).
Baca: KATA-KATA UCAPAN SELAMAT HARI SUCI NYEPI TAHUN BARU SAKA 2022/1944
Sesungguhnya, upacara pangrupukan yang jatuh pada hari Tilem Sasih Kasanga itu memiliki makna fisiologis yang sangat dalam bagi umat Hindu di Bali, yaitu kasanga berarti kesembilan. Angka sembilan merupakan angka terakhir untuk selanjutnya berganti dengan angka yang mengandung nol (0), misalnya setelah sembilan akan disusul oleh angka sepuluh, setelah sembilan belas akan disusul oleh dua puluh, dan seterusnya. Hal ini mengindikasikan bahwa setelah sembilan akan terjadi peralihan perhitungan. Kecuali itu, menurut kosmologi umat Hindu bahwa angka sembilan juga mengacu kepada ke sembilan penjuru arah mata angin. Masyarakat Hindu di Bali percaya bahwa di sembilan arah mata angin itu bersemayam para Dewata, yaitu di arah timur Dewa Iswara, di tenggara Dewa Maheswara, di selatan Dewa Brahma, Dewa Rudra di barat daya, Dewa Mahadewa di arah barat, Dewa Sangkara di barat laut, Dewa Wisnu di arah utara, Dewa Sambu di timur laut, dan Dewa Siwa bersemanyam di tengah-tengah. Hal ini lazim dikenali dengan istilah Dewata Nawa Sanga (artinya sembilan dewa yang bersemanyam di masing-masing arah mata angin).
Masyarakat Hindu di Bali juga mengenal konsep Kala Ya Dewa Ya. Konsep ini mengandung makna bahwa kala atau waktu itu terdiri atas waktu (hari) baik dan waktu buruk. Hari baik dihubungkan dengan turunnya para Dewa, sedangkan hari buruk diasosiasikan dengan berkeliarannya para Bhuta Kala. Oleh karena itu, di samping di sembilan arah mata angin itu bersemanyam para dewa, juga di sembilan arah mata angin itu dihuni para Bhuta Kala.
Dari dimensi makrokosmos, umat yang menganut Agama Hindu di Bali hanya memandang penting dan pokok: (1) arah timur dengan urip 5, warna putih; (2) arah selatan dengan urip 9, warna merah; (3) arah barat dengan urip 7, warna kuning; (4) arah utara dengan urip 4, warna hitam, dan; (5) arah tengah dengan urip 8, warna brumbun (campuran dari kelima warna itu). Jika dijumlahkan urip-nya menjadi 33.
Dari dimensi mikrokosmos, para Dewa itu juga dapat bersemanyam di dalam tubuh manusia; Dewa Wisnu di empedu, Dewa Sambu di pancreas, Dewa Iswara di jantung, Dewa Maheswara di paru-paru, Dewa Brahma di hati, Dewa Rudra di usus, Dewa Mahadewa di ginjal, Dewa Sangkara di limpa, dan Dewa Siwa ditumpukan hati. Dengan demikian, pada hari raya Nyepi, para dewa itu disemanyamkan dan dipuja pada diri manusia.
Di samping itu, menurut persepsi Umat Hindu bahwa baik alam semesta (makrokosmos) yang disebut bhuana agung maupun diri manusia (mikrokosmos) yang disebut bhuana alit pada hakikatnya terwujud dari unsur-unsur Panca Maha Bhuta, yang terdiri atas : (1) zat padat/prthiwi; (2) zat cair / apah; (3) cahaya / teja; (4) udara / bayu; (5) akasa/ether. Pada hari raya pangrupukan unsur-unsur itu diupacarai agar bebas dari gangguan bhuta kala.
Sesungguhnya, umat yang beragama Hindu di Bali memandang alam semesta (makrokosmos) itu terdiri atas tiga susunan, yakni bhur loka, bhuwah loka, dan swah loka. Dalam hal ini, bhur loka adalah dunia manusia, bhuta k ala, dan makhluk halus lainnya, bhuah l oka adalah dunianya para roh, dan sw ah l oka adalah dunianya para Dewa/ Tuhan (Jingga, 1967 : 23). Akan tetapi, derajat Bhuta Kala dipandang lebih rendah daripada derajat manusia. Oleh karena itu, penghormatan kepada bhuta kala disimbolkan dengan gerakan tangan ke bawah (ke bumi).
Menurut persepsi umat Hindu, Dewa itu merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Mahaesa/Ida Sang Hyang Widi Wasa menurut peran-Nya masing-masing dan tidak bisa dilihat oleh manusia. Bhuta Kala adalah sejenis makhluk halus ciptaan Tuhan yang dapat mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit).
Ditinjau dari dimensi waktu bahwa pada hari Tilem Kasanga bertepatan dengan waktu pergantian tahun menurut caka. Pada hari tilem kasanga ini menjadi peralihan tahun Caka menurut perhitungan Hindu Bali. Keadaan ini yang menyebabkan bahwa Hari Nyepi merupakan tahun caka baru yang jatuh pada Sasih Kadasa.
Kata kadasa pada sasih kadasa di samping berarti ke sepuluh juga dapat diinterpretasikan dengan kata yang berarti bersih. Oleh karena itu, Hari Raya Nyepi diadakan pada paroh terang pertama (penanggal pisan) masa kesepuluh (sasih kadasa), merupakan hari pertama yang dipandang hari bersih untuk memulai dengan lembaran hidup baru pada tahun baru Caka.
MAKNA RANGKAIAN NYEPI SAMBUT TAHUN BARU CAKA
Pada masyarakat Bali, upacara inisiasi umumnya dilakukan pada saat masa peralihan, baik pada diri manusia ( bhuana alit) maupun alam semesta (bhuana agung). Hal ini disebabkan karena masyarakat Bali memandang masa peralihan itu merupakan hal sensitif, saat yang mudah mendatangkan bahaya atau hal-hal yang tidak diinginkan sehingga pada masa peralihan itu perlu diadakan upacara inisiasi.Proses pelaksanaan rangkaian upacara hari raya Nyepi di Bali dikoordinasikan dan diawasi oleh masing -masing Kepala Desa Adat bersama stafnya dengan berpedoman pada pedoman umum yang dibuat oleh Parisada Hindu Dharma Tingkat I Bali.
Perayaan Hari Raya Nyepi itu sudah menjadi hari libur n asional yang diselenggarakan setiap tahun sekali, tepatnya pada pergantian tahun baru Caka dengan rangkaian upacara sebagai berikut.
Upacara Melasti atau Mekiis
Upacara melasti atau mekiis, bahkan ada juga yang menyebut upacara ini dengan nama upacara melis, biasanya dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum pelaksanaan Nyepi. Fungsi upacara melasti ini adalah untuk melakukan penyucian peralatan upacara dan personal masing-masing umat yang akan melaksanakan ritual catur brata penyepian pada hari Nyepi. Pada hari melasti ini, pretima dan sarana atau perlengkapan upacara lainnya diarak ke pantai atau sungai. Namun, kebanyakan warga Bali yang ber agama Hindu menyucikan pretima dan perlengkapannya ke pantai. Di sini, adanya suatu pandangan bahwa laut, danau, atau sungai merupakan sumber air suci dan dipercaya kecemaran atau keletehan (kekotoran) tersebut bisa disucikan.Upacara Pangrupukan
Upacara Pengrupukan ini memiliki beberapa sebutan, antara lain upacara tawur kesanga atau tawur agung. Seperti telah disebutkan di atas sepintas bahwa ritual pangrupukan ini diselenggarakan sehari sebelum merayakan Nyepi, tepatnya pada bulan mati (tilem) Sasih Kasanga terakhir untuk melaksanakn upacara bhuta yadnya. Upacara ini diadakan pada waktu perganti an tahun menurut perhitungan Hindu Bali dengan upacara yang disebut tawur agung kasanga, yakni upacara yang dipersembahkan kepada bhuta kala.Dengan demikian, pelaksanaan upacara ini di Bali dise but upacara korban ( mecaru) yang berfungsi menjaga keseimbangan alam semesta maupun diri manusia dari gangguan bhuta kala. Adapun sesajen caru yang digunakan dalam upacara pangrupukan tersebut sebagai berikut:
Untuk di Tingkat Desa Adat
Bahan sesajen caru yang digunkan antara lain nasi sasah aman cawarna (brumbun) sebanyak 9 tanding, segehan agung dengan warna putih sebanyak 108 tanding, dagingnya olahan ayam brumbun dan tetabuhan serta api takep. Sesajen/bebanten ini dihaturkan ke hadapan Sang Bhuta Kala.Apabila diperhatikan nasi sasah dan segehan agung itu masing-masing berjumlah sembilan tanding dan 108 tanding. Ini menunjukkan pada angka kelipatan sembilan, yang berarti bahwa ada kaitannya dengan Dewata Nawa Sanga yang menempati arah mata angin di alam semesta ini dan juga menempati pada bagian -bagian tertentu dari organisme manusia, seperti telah disebutkan di atas. Ayam brumbun (amancawarna) adalah seekor ayam yang warna bulunya terdiri atas warna merah, putih, kuning, dan hitam. Ayam brumbun biasanya dipakai sesuai dengan urip panca desa (bilangan 33).
Kulit ayam brumbun itu dikelupas, dagingnya diolah dijadikan caru sebanyak delapan tanding (takaran), sesuai dengan warna brumbun, seperti telah disebutkan di atas. Selanjutnya, tetabuhan dibuat dari tetesan darah binatang dengan memotong leher ayam. Inilah yang berkembang menjadi tabuh rah/tajen. Hal ini dapat dibuktikan dengan pelaksanaan tabuh rah pada setiap upacara pangrupukan dan upacara pecaruan di tingkat desa adat di Pulau Bali. Menurut kepercayaan umat yang beragama Hindu di Pulau Bali tetabuhan ini adalah minuman sang bhuta kala, sedangkan lauk-pauk yang disukai oleh sang bhuta kala itu adalah segala yang berbau amis dan babad (jejeroan) mentah.
Selain itu, bentuknya seperti tampak dara atau swastika netral yang menyimbolkan arah mata angin. Apinya merupakan simbol penyaksi dan pengantar diselenggarakannya upacara itu.
Pelaksanaan upacara pacaruan di tingkat desa adat pada umumnya dilaksanakan di perempatan jalan atau pertigaan jalan, karena tempat itu dipandang keramat dan tempat tinggal para bhuta kala. Pelaksaan upacaranya dilakukan pada saat tengai tepet (peralihan dari pagi hari ke siang hari) atau pada waktu sandikala (peralihan siang hari ke malam hari), karena menurut keyakinan Umat Hindu bahwa pada saat peralihan itu para bhuta k ala berkeliaran. Dalam hal ini, pada waktu ngayat tangan pemangku/pinandita yang memimpin upacra menghadap ke bawah/ ke bumi, karena caru itu disuguhkan kepada bhuta kala yang derajatnya lebih rendah daripada manusia, agar tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung). Pelaksanaan upacara pecaruan di tingkat desa adat didahulukan, karena setiap rumah tangga akan memohon tirta caru ke desa setelah selesai pecaruan di desa adat setempat.
Untuk Tiap Rumah Tangga
Korban/caru di rumah tangga hampir sama dengan di tingkat desa adat, hanya tetabuhan dari darah ayam digantikan dengan arak berem, karena maknanya sama. Caru itu dihaturkan pada saat sandikala di halaman sanggah/pemerajan (tempat suci keluarga) masing-masing.Kemudian, dilanjutkan dengan menghaturkan segehan agung /pecaruan dan nasi sasah sebanyak 108 tanding di depan pintu rumah. Selesai menghaturkan segehan agung/pecaruan, anggota keluarga mebyakala, yaitu upacara pembersihan diri (bhuana alit) dari gangguan bhuta kala. Oleh karena itu, pada waktu natab sesajen byakala tangan diarahkan ke bawah atau ke bumi pula.
Selanjutnya, diadakan pangrupukan yang bertujuan mengusir para bhuta kala dari pekarangan rumah dan bilik-bilik bangunan rumah agar kembali ke tempatnya masing -masing. Alat perlengkapan yang digunakan, antara lain obor, kentungan, dan perlengkapan lainnya. Caranya adalah obor dinyalakan dan kentungan (kulkul) dipukul-pukul sambil mengelilingi halaman rumah dan berputar ke kiri sebanyak lima kali (kelima arah mata angin), yang berarti menuju ke bawah, mengingat derajat bhuta kala itu lebih rendah dari manusia.
Apabila diperhatikan mantra-mantra yang diucapkan pada waktu penyelenggaraan upacara itu menunjukkan bahwa unsur pembersihan (penyupatan) di sini tidaklah bersifat nyata, melainkan lebih bersifat abstrak/rohaniah, yaitu meningkatkan taraf hidup bhuta k ala dan binatang yang dijadikan caru/korban menuju ke alam manusia. Selain itu, memohon agar para bhuta kala tidak mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit), sebaliknya dapat memberikan restu dan keselamatan.
Di tingkat d esa adat, upac ara pangrupukan disertai aksi ogoh-ogoh yang diiringi bunyi- bunyian seperti gong baleganjur, kentungan (kulkul), dan alat sejenis. Secara simbolis, ogoh-ogoh itu merupakan manifestasi dari bhuta k ala yang biasanya berwujud seperti raksasa dengan mata melotot dan mulut menganga. Dengan demikian, wujud ogoh-ogoh tersebut sangat seram.
Bahkan, dalam beberapa dekade terakhir ini, pada hari pangrupukan itu teruna-teruni di Bali mengadakan lomba ogoh-ogoh, antara lain di tingkat banjar/lingkungan, desa, kecamatan, dan kabupaten/kota. Pada arak-arak atau pawai ogoh-ogoh dilaksanakan dilengkapi dengan barisan di bagian depan yang membawa obor dan diiringi dengan gambelan bale ganjur. Walaupun di suatu banjar atau desa tidak mengadakan lomba ogoh-ogoh tetapi tetap dilaksanakan arak-arakan ogoh-ogoh untuk meriahkan hari pangrupukan di lingkungannya masing-masing.
Pada malam pangrupakan ini, biasanya di Bali, baik tua-muda maupun pria–perempuan bersuka ria merayakan pangrup ukan ini, ada yang berjalan-jalan di lingkungan wilayah banjar atau desanya sambil mengarak ogoh-ogoh. Ada juga sebagian yang duduk di pinggir-pinggir jalan sambil menonton pawai atau arak-arakan ogoh-ogoh sampai dini hari. Biasanya arak -arak ogoh-ogoh terjadi saling balas-balasan antara banjar satu dengan banjar lainnya, atau desa satu dengan desa lainnya.
Untuk mengantisipasi supaya tidak terjadi konflik secara fisik maka pihak keamanan setempat mengerahkan pecalang dan hansip, serta dibantu oleh personil dari kepolisian tingkat kecamatan. Pada malam pengrupukan inilah sebagai momentum untuk mengintegrasikan warga banjar dan atau desa setempat karena di antara seringkali dapat saling bertegur sapa sambil berjalan-jalan atau duduk-duduk di pinggir jalan. Bahkan, melalui lomba ogoh-ogoh timbul kreativitas generasi muda di Bali dalam menciptakan hasil karya nyata yang berupa ogoh -ogoh serta atraksi seni (tari-tarian, tetabuhan gambelan, dan sejenisnya) untuk menyamarakkan lomba ogoh-ogoh tersebut.
Malam pangrupukan ini dirayak an sambil menyambut malam tahun baru caka sampai pukul 05.00 (WITA) pagi. Setelah itu, ogoh-ogoh dibakar, sebagai simbol bahwa para bhuta kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing. Selanjutnya, menjelang matahari terbit di ufuk timur umat Hindu merayakan Hari Raya Nyepi.
PENGERTIAN ARTI DEFINISI DARI HARI RAYA NYEPI
Selamat Melaksanakan Brata Penyepian. pengertianartidefinisidari.blogspot.com, - Kata “nyepi” dalam pengertianartidefinisidari, yaitu berasal dari kata sepi. Kata sepi di sini mengandung arti hening, senyi-senyap, “sipeng”.Hari Nyepi dirayakan pada tanggal 1 bulan ke 10 Caka, atau dengan sebutan lain “Penanggalan Apisan Sasih Kedasa”.
Ketika merayakan hari raya nyepi itu, umat Hindu di Bali memperoleh pembelajaran untuk mengendalikan diri dengan cara tidak bepergian, tidak beraktivitas/bekerja, berpuasa (tidak makan dan minum), tidak melakukan aktivitas yang dapat mencemarkan badan. Pengendalian diri ini dilakukan dengan cara mengadakan catur brata penyepian.
Dengan melaksanakan catur brata penyepian ini, umat Hindu di Bali bisa konsentrasi atau fokus dengan tenang dan khusuk untuk kembali ke jati diri, yang ditempuh dengan cara meditasi, shamadi, perenungan diri sendiri di suasana yang sunyi-senyap atau “keheningan”.
Catur Brata penyepian (pengendalian diri) dilaksanakan selama 24 jam, yakni sehari setelah Tilem Sasih Kasanga (Tilem Kasanga), tepatnya pada paroh terang pertama masa kesepuluh/ panaggal sasih kadasa.
Pelaksanaan catur brata p enyepian itu mulai pukul 05.00 sampai pukul 05.00 besok pagi harinya, dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Amati geni. Dalam bahasa Bali, geni artinya api. Dengan demikian, amati geni berarti tidak menyalakan api atau lampu dan tidak boleh mengumbar/mengobarkan hawa nafsu.
- Amati karya. Kata karya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti kerja. Amati karya berarti tidak melakukan kerja/kegiatan fisik, tidak bersetubuh, melainkan tekun melakukan penyucian rohani.
- Amati lelungan. Kata lelungan berasal dari bahasa Bali, yakni dari akar kata lunga yang berarti pergi. Oleh karena itu, amati lelungan mengandung arti tidak berpergian kemana-mana, melainkan senantiasa mawas diri di rumah serta melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan, dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) yang telah disemayamkan di dalam organ-organ manusia sepeti telah disebutkan di atas pembahasan pengertianartidefinisidari.blogspot.com.
- Amati lelanguan. Kata lelanguan juga termasuk bahasa Bali, yakni berasal dari kata langu yang berarti hiburan atau rekreasi. Dengan demikian, amati elanguan berarti tidak mengadakan hiburan/rekreasi atau bersenang-senang, termasuk tidak makan dan tidak minum.
Pada Hari Raya Nyepi, suasana di Bali sepanjang hari menjadi sunyi-senyap, dan pada malam harinya gelap gulita. Tidak ada orang yang lalu lalang, semua orang tinggal di rumahnya masing-masing menjalani brata penyepian sampai menjelang matahari terbit besok hari-nya, tepatnya pada hari mulai Ngembak Geni.
Post a Comment for "MAKNA SASIH KASANGA DAN SASIH KADASA PADA RANGKAIAN NYEPI"