Arti Definisi Pengertian Galungan dan Kuningan : Daftar hari raya keagamaan umat Hindu di dunia termasuk Bali (Indonesia) jatuh pada tanggal yang berbeda. Diantara hari raya tersebut seperti: Hari Siwa Ratri jatuh pada penanggalan Januari, Hari Saraswati dan Pegerwesi jatuh pada penanggalan Januari dan Agustus, Hari Thaipusam jatuh pada penanggalan Januari atau Februari, Hari Tawur Kesanga, Nyepi dan Ngembak Geni jatuh pada penanggalan Maret, Hari Galungan jatuh pada penanggalan Maret dan Oktober, Hari Kuningan jatuh pada penanggalan April dan November, Hari Deepavali jatuh pada penanggalan Oktober atau November. Tentu saja penanggalan-penanggalan ini menyesuaikan dari kalender yang berlaku bagi umat Hindu di dunia termasuk Bali (Indonesia). Seperti tahun 2019 Hari raya Galungan serta Kuningan jatuh pada penanggalan 24 Juli hingga 3 Agustus 2019. Dalam arti perayaan umat Hindu adalah bahwa Hari Raya Galungan dimaknai sebagai kemenangan dharma melawan adharma (Keburukan), dimana ini memiliki makna bahwa Hari Raya Galungan dirayakan setiap Budha Kliwon wuku Dungulan jatuh pada tanggal 24 Juli 2019, begitu juga hari Raya Kuningan yang akan jatuh pada Saniscara Kliwon wuku Kuningan tepat 10 hari setelah hari raya Galungan yaitu jatuh pada penanggalan 3 Agustus 2019. Lalu bagaimana pengertian Galungan dan Kuningan dari kata atau menurut para pakar dan ahli serta apa contoh ucapan selamatnya.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya, pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Hal itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.
Menurut sejarah, selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan sejarah ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.
Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya. Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Makna yang diambil dari inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi di Bali hingga sekarang dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Dari peristiwa sejarah ini mendefiniskan makna filosofis Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).
Baca:
Daftar Isi:
PENGERTIAN GALUNGAN DARI PENDAPAT PARA AHLI
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis. Contoh ucapan selamat yang sering ditemukan dalam kata-kata mutiara seperti: "Rayakan manisnya hari kemenangan dharma melawan adharma dengan menanamkan dharma dihati kita." ataupun pesan dalam bahasa Bali "Rahajeng Rahina Galungan lan Kuningan, Dumogi iraga ngomolihin rahayu ring rahinane mangkin Ciptakan dharma dalam hati untuk kedamaian sejati", Dalam bahasa Bali.Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli bahasa
Kata Galungan - Ga-lu-ngan n hari raya umat Hindu Dharma setiap 210 hari sekali, jatuh pada hari Rabu Kliwon, dua kali dalam satu tahun (KBBI)Menurut Wikipedia
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali yaitu pada hari Budha Kliwon Dungulan (Rabu Kliwon wuku Dungulan) sebagai hari kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia
Dalam sejarah Hari Raya Galungan, asal kata "Galungan" adalah berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang.Menurut Lontar Purana Bali Dwipa
Dalam Lontar Purana Bali Dwipa mengatakan Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya, pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Hal itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan.
Menurut sejarah, selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan sejarah ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek.
Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya. Dewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Para Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durga (Dewi Durgha), sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Makna yang diambil dari inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi di Bali hingga sekarang dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Dari peristiwa sejarah ini mendefiniskan makna filosofis Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sundarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan).
PENGERTIAN KUNINGAN DARI PENDAPAT PARA AHLI
Kata Kuningan memiliki makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya. Dalam hari besar Kuningan adalah hari raya umat Hindu Dharma dua minggu setelah Hari Raya Galungan dirayakan setiap 210 hari sekali atau sekali tiap 6 bulan menurut penanggalan Bali. Hari Kuningan merupakan hari resepsi bagi hari Galungan sebagai kemenangan dharma melawan adharma yang pemujaannya ditujukan kepada para Deva dan Pitara agar turun melaksanakan pensucian serta mukti, atau menikmati sesaji yang dipersembahkan. Contoh ucapan selamat yang sering ditemukan dalam kata-kata mutiara seperti: "Rayakan hari ini dengan mengintrospeksi diri agar terhindar dari mara bahaya dan hindari memutuskan persaudaraan hanya karena sepatah kata yang tak sengaja terucap, ataupun pesan dalam bahasa Bali "Rahajeng Rahina Galungan 24 Juli 2019 lan Kuningan 3 Agustus 2019 Dumogi sareng sami manggih kerahayuan."Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) online dan menurut para ahli bahasa
Kata Kuningan2/Ku·ni·ngan/ n hari raya umat Hindu Dharma dua minggu setelah hari raya Galungan (yang dirayakan setiap 210 hari sekali atau sekali tiap 6 bulan menurut penanggalan Bali) - KBBIMenurut Wikipedia
Hari raya Galungan dirayakan oleh umat Hindu setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali (1 bulan dalam kalender Bali = 35 hari). Sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Kata Kuningan memiliki makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya. Hari raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali. Perayaan ini jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan.Menurut Parisada Hindu Dharma Indonesia
Sehari sebelum hari raya kuningan adalah Hari Penampahan Kuningan yang jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan.Baca:
- HARI RAYA KEAGAMAAN UMAT HINDU: NGAMBAK GENI
- HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
- KUMPULAN KATA MUTIARA UCAPAN SELAMAT HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
- UCAPAN SELAMAT HARI RAYA NYEPI 2020 TAHUN BARU SAKA 1942
Menurut Lontar Sundarigama
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara Hari Penampahan Kuningan yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan.Menurut Babad Bali
Hari raya Kuningan merupakan perayaan turunnya Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, para dewa dan dewa pitara ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok, sehingga pada hari itu dibuat, nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan yadnya sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa- Bahan-bahan sandang
- Pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.
Post a Comment for "MAKNA GALUNGAN DAN KUNINGAN SERTA UCAPANNYA"