PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DIEASE (COVID-19) REVISI KE-3

pengertianartidefinisidari.blogspot.com: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) telah mengeluarkan revisi ke-3 terkait dengan Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19). Berdasarkan keterangan perubahan pedoman ini merupakan Revisi ke-3 menyatakan bahwa pedoman ini sesuai dengan perkembangan situasi global dan hasil kesepakatan pertemuan Review Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19) yang dilaksanakan pada 1 Maret 2020 dan 3 Maret 2020, dihadiri alhi dibidang kesehatan seperti:
  1. dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), FISR (PDPI);
  2. dr. Pompini Agustina Sitompul, Sp.P(K) (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso);
  3. dr. Dyani Kusumowardhani Sp.A (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso);
  4. dr. Aditya Susilo, Sp.PD, KPTI (PAPDI/Rumah Sakit dr.Cipto Mangunkusumo);
  5. dr. Retno Wihastuti, Sp.P (RSPAD Gatot Subroto);
  6. dr. Wahyuni Indawati Sp. A (K) (IDAI);
  7. dr. Dimas Dwi Saputro, Sp.A (IDAI);
  8. Dr. dr. Vivi Setyawaty, MBiomed (Puslitbang BTDK);
  9. dr. I Nyoman Kandun, MPH (FETP);
  10. dr. Hariadi Wibisono, MPH (PAEI);
  11. dr. Sholah Imari, MsC (PAEI);
  12. Costy (Perhimpunan Ahli PPI);
  13. dr. Niluka Wijekoon K (WHO Head Quarter);
  14. dr. Rim Kwang il (WHO Indonesia);
  15. dr. Vinod Kumar Bura (WHO Indonesia);
  16. dr. Endang Widuri Wulandari (WHO Indonesia);
  17. Agus Sugiarto (KKP Kelas I Tanjung Priok);
  18. dr. Fida Dewi (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga);
  19. Selamat Riyadi (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga);
  20. Dahlia H (Direktorat P2ML);
  21. Noor Setyawati (Direktorat P2PML).



Adapun perubahan atau revisi ke-3 ini terdapat pada:
  • BAB I PENDAHULUAN;
  • BAB II SURVEILANS DAN RESPON;
  • BAB IV PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI;
  • BAB V PENGELOLAAN SPESIMEN DAN KONFIRMASI LABORATORIUM;



Berikut adalah Pedoman Kesiapsiagaan menghadapi Coronavirus Disease (Covid-19) yang pengertianartidefinisidari.blogspot.com kutip dari Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (Covid-19) yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P):




BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini sampai saat ini masih belum diketahui.


Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.


Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease, COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara. Sampai dengan 3 Maret 2020, secara global dilaporkan 90.870 kasus konfimasi di 72 negara dengan 3.112 kematian (CFR 3,4%). Rincian negara dan jumlah kasus sebagai berikut: Republik Korea (4.812 kasus, 28 kematian), Jepang (268 kasus, 6 kematian), Singapura (108 kematian), Australia (33 kasus, 1 kematian), Malaysia (29 kasus), Viet Nam (16 kasus), Filipina (3 kasus, 1 kematian), New Zealand (2 kasus), Kamboja (1 kasus), Italia (2.036 kasus, 52 kematian), Perancis (191 kasus, 3 kematian), Jerman (157 kasus), Spanyol (114 kasus), United Kingdom (39 kasus), Swiss (30 kasus), Norwegia (25 kasus), Austria (18 kasus), Belanda (18 kasus), Swedia (15 kasus), Israel (10 kasus), Kroasia (9 kasus), Islandia (9 kasus), San Marino (8 kasus), Belgia (8 kasus), Finlandia (7 kasus), Yunani (7 kasus), Denmark (5 kasus), Azerbaijan (3 kasus), Republik Ceko (3 kasus), Georgia (3 kasus), Romania (3 kasus), Rusia (3 kasus), Portugal (2 kasus), Andorra (1 kasus), Armenia (1 kasus), Belarus (1 kasus), Estonia (1 kasus), Irlandia (1 kasus), Republik Latvia (1 kasus), Lithuania (1 kasus), Luxembourg (1 kasus), Monako (1 kasus), Makedonia Utara (1 kasus), Thailand (43 kasus, 1 kasus), India (5 kasus), Indonesia (2 kasus), Nepal (1 kasus), Sri Lanka (1 kasus), Iran (1.501 kasus, 66 kematian), Kuwait (56 kasus), Bahrain (49 kasus), Iraq (26 kasus), Uni Emirat Arab (21 kasus), Libanon (13 kasus), Qatar (7 kasus), Oman (6 kasus), Pakistan (5 kasus), Mesir (2 kasus), Afghanistan (1 kasus), Yordania (1 kasus), Maroko (1 kasus), Arab Saudi (1 kasus), Tunisia (1 kasus), Amerika Serikat (64 kasus, 2 kematian), Kanada (27 kasus), Ekuador (6 kasus), Meksiko (5 kasus), Brasil (2 kasus), Republik Dominika (1 kasus), Algeria (5 kasus), Nigeria (1 kasus), Senegal (1 kasus). Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi.


Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui kontak erat dan droplet, tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.


1.2 Tujuan Pedoman

1.2.1 Tujuan Umum

Melaksanakan kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 di Indonesia.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Melaksanakan surveilans dan respon Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah

2. Melaksanakan manajemen klinis infeksi saluran pernapasan akut berat (pada pasien dalam pengawasan COVID-19)

3. Melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi selama perawatan kesehatan

4. Melaksanakan pemeriksaan laboratorium

5. Melaksanakan komunikasi risiko dan keterlibatan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan respon

1.3 Ruang Lingkup

Pedoman ini meliputi surveilans dan respon KLB/wabah, manajemen klinis, pemeriksaan laboratorium, pencegahan dan pengendalian infeksi, pemeriksaan laboratorium dan komunikasi risiko.


Pedoman ini disusun berdasarkan rekomendasi WHO sehubungan dengan adanya kasus COVID-19 yang bermula dari Wuhan, China hingga berkembang ke seluruh dunia. Pedoman ini diadopsi dari pedoman sementara WHO serta akan diperbarui sesuai dengan perkembangan kondisi terkini. Pembaruan pedoman dapat diakses pada situs www.infeksiemerging.kemkes.go.id.


BAB II
SURVEILANS DAN RESPON

2.1 Definisi Operasional

2.1.1 Pasien dalam Pengawasan

1. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥380C) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/ sesak nafas/ sakit tenggorokan/ pilek//pneumonia ringan hingga berat.#

DAN

tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan

DAN

pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;

b. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**



2. Seseorang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel COVID-19;

3. Seseorang dengan ISPA berat/ pneumonia berat*** di area transmisi lokal di Indonesia** yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.

2.1.2 Orang dalam Pemantauan

Seseorang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk.

DAN

tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
DAN

pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala, memenuhi salah satu kriteria berikut:

a. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di luar negeri yang melaporkan transmisi lokal*;

b. Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di area transmisi lokal di Indonesia**



2.1.3 Kasus Probabel

Pasien dalam pengawasan yang diperiksa untuk COVID-19 tetapi inkonklusif (tidak dapat disimpulkan).

2.1.4 Kasus Konfirmasi

Seseorang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan laboratorium positif.

Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan, probabel atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Kontak erat dikategorikan menjadi 2, yaitu:

1. Kontak erat risiko rendah

Bila kontak dengan kasus pasien dalam pengawasan.

2. Kontak erat risiko tinggi

Bila kontak dengan kasus konfirmasi atau probabel.

Termasuk kontak erat adalah:

a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.

b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.

2.2 Kegiatan Surveilans

2.2.1 Kasus Pasien dalam pengawasan

Jika ditemukan kasus pasien dalam pengawasan, kegiatan surveilans dilakukan terhadap kontak erat termasuk keluarga maupun petugas kesehatan yang merawat pasien.

2.2.2 Kontak Erat

Berikut kegiatan yang dilakukan terhadap kontak erat:

a. Kontak erat risiko rendah

Kegiatan surveilans dan pemantauan kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan pasien dalam pengawasan. Kontak erat ini wajib melakukan observasi. Observasi yang dimaksud dalam pedoman ini adalah karantina. Kontak erat risiko rendah tidak memerlukan pengambilan spesimen.
  • Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan negatif COVID-19 maka kegiatan surveilans dan pemantauan terhadap kontak erat dihentikan.
  • Apabila pasien dalam pengawasan dinyatakan probabel/positif COVID-19 (konfirmasi) maka pemantauan dilanjutkan menjadi kontak erat risiko tinggi.


b. Kontak erat risiko tinggi

Kegiatan surveilans terhadap kontak erat ini dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan probabel/ konfirmasi. Kontak erat ini wajib dilakukan observasi dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-14). Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman di lokasi observasi. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai salinan formulir

pemantauan harian kontak erat (lampiran 2). Bila hasil pemeriksaan laboratorium positif maka pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan.

Apabila kontak erat menunjukkan gejala demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan dalam 14 hari terakhir maka dilakukan isolasi rumah dan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 oleh petugas kesehatan setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Apabila hasil laboratorium positif, maka dilakukan rujukan ke RS rujukan untuk isolasi di Rumah sakit. Petugas kesehatan melakukan pemantauan melalui telepon, namun idealnya dengan melakukan kunjungan secara berkala (harian). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dengan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Jika pemantauan terhadap kontak erat sudah selesai maka dapat diberikan surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9). Penjelasan lengkap mengenai pelacakan kontak erat dapat dilihat pada Bab II bagian 2.5.

2.2.3 Orang dalam Pemantauan

Orang dalam pemantauan wajib melakukan isolasi diri di rumah dan dilakukan pengambilan spesimen (hari ke-1 dan hari ke-2). Kegiatan surveilans terhadap orang dalam pemantauan dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 6). Bila hasil pemeriksaan menunjukkan positif maka pasien di rujuk ke RS Rujukan. Begitu pula bila apabila orang dalam pemantauan berkembang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan dalam 14 hari terakhir maka segera rujuk ke RS rujukan untuk tatalaksana lebih lanjut.


Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon namun idealnya melakukan kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian (lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat dan tidak bergejala, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 9).


2.2.4 Pelaku Perjalanan Dari Negara/Area Terjangkit

Pelaku perjalanan dari negara/area transmisi lokal yang tidak bergejala wajib melakukan monitoring mandiri terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak kepulangan. Setelah kembali dari negara/area transmisi lokal sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain. Jika dalam 14 hari timbul gejala, maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC. Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan dari negara terjangkit yang tidak berisiko dan tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masuk negara. Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan alamat yang tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat meningkatkan kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku perjalanan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat, dll.


2.3 Deteksi Dini dan Respon

Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, kasus probabel maupun kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi WHO atau melalui situs lain:
  • Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
  • Peta penyebaran COVID-19 yang mendekati realtime oleh Johns Hopkins University-Center for Systems Science and Engineering (JHU CSSE), dapat diakses pada link https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd4 0299423467b48e9ecf6.
  • Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah/ kementerian kesehatan dari negara terjangkit (dapat diakses di www.infeksiemerging.kemkes.go.id)
  • Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang berkembang terkait dengan COVID-19.


2.3.1 Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara

Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR (2005), pelabuhan, bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina, pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan. Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara. Kemampuan utama untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005) adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).


Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang datang dari wilayah/ negara terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait.


2.3.1.1 Kesiapsiagaan
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi ancaman COVID-19 maupun penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) lainnya di pintu masuk (pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN), diperlukan adanya dokumen rencana kontinjensi dalam rangka menghadapi penyakit dan faktor risiko kesehatan berpotensi KKM. Rencana Kontinjensi tersebut dapat diaktifkan ketika ancaman kesehatan yang berpotensi KKM terjadi. Rencana kontinjensi disusun atas dasar koordinasi dan kesepakatan bersama antara seluruh pihak terkait di lingkungan bandar udara, pelabuhan, dan PLBDN. Dalam rangka kesiapsiagaan tersebut perlu dipersiapkan beberapa hal meliputi norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK), kebijakan dan strategi, Tim Gerak Cepat (TGC), sarana prasarana dan logistik, serta pembiayaan. Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:


a. Sumber Daya Manusia (SDM)
  • Membentuk atau mengaktifkan TGC di wilayah otoritas pintu masuk negara di bandara/ pelabuhan/ PLBDN. Tim dapat terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Hewan dan unit lain yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
  • Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu masuk negara dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan pelatihan/drill, table top exercise, dan simulasi penanggulangan COVID-19.
  • Meningkatkan kemampuan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor dengan semua unit otoritas di bandara/ pelabuhan/ PLBDN.


b. Sarana dan Prasarana
  • Tersedianya ruang wawancara, ruang observasi, dan ruang karantina untuk tatalaksana penumpang. Jika tidak tersedia maka menyiapkan ruang yang dapat dimodifikasi dengan cepat untuk melakukan tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara.
  • Memastikan alat transportasi (ambulans) penyakit menular ataupun peralatan khusus utk merujuk penyakit menular yang dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut ke RS rujukan. Apabila tidak tersedia ambulans khusus penyakit menular, perujukan dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pencegahan infeksi (menggunakan Alat Pelindung Diri/ APD lengkap dan penerapan disinfeksi).
  • Memastikan fungsi alat deteksi dini (thermal scanner) dan alat penyehatan serta ketersediaan bahan pendukung.
  • Memastikan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
  • Menyiapkan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life-saving), alat kesehatan, APD, Health Alert Card (HAC), dan melengkapi logistik lain, jika masih ada kekurangan.
  • Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang tepat.
  • Ketersediaan pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan pasien.



2.3.1.2 Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara
Deteksi dini dan respon dilakukan untuk memastikan wilayah bandara, pelabuhan dan PLBDN dalam keadaan tidak ada transmisi. Berikut upaya deteksi dan respon yang dilakukan di pintu masuk negara:


a. Pengawasan Kedatangan Alat Angkut


1) Meningkatkan pengawasan alat angkut khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan alat angkut dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada alat angkut.


2) Memastikan alat angkut tersebut terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.


3) Jika dokumen lengkap dan/atau tidak ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut dapat diberikan persetujuan bebas karantina.


4) Jika dokumen tidak lengkap dan/ atau ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut diberikan persetujuan karantina terbatas, dan selanjutnya dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan yang diperlukan (seperti disinfeksi, deratisasi, dsb).


5) Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes, RS rujukan, Kantor Imigrasi, dsb.


b. Pengawasan Kedatangan Barang


Meningkatkan pengawasan barang (baik barang bawaan maupun barang komoditi), khususnya yang berasal dari negara-negara terjangkit, terhadap penyakit maupun faktor risiko kesehatan, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada barang (pengamatan visual maupun menggunakan alat deteksi).


c. Pengawasan Lingkungan


Meningkatkan pengawasan lingkungan pelabuhan, bandar udara, PLBDN, dan terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.


d. Komunikasi risiko


Melakukan penyebarluasan informasi dan edukasi kepada pelaku perjalanan dan masyarakat di lingkungan pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes di wilayah, RS rujukan, Kantor Imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, maupun pihak terkait lainnya, serta menyampaikan laporan kepada Dirjen P2P, melalui PHEOC apabila menemukan pasien dalam pengawasan dan upaya-upaya yang dilakukan.


e. Pengawasan Kedatangan Orang


Secara umum kegiatan penemuan kasus COVID-19 di pintu masuk negara diawali dengan penemuan pasien demam disertai gangguan pernanapasan yang berasal dari negara/wilayah terjangkit. Berikut kegiatan pengawasan kedatangan orang:


1) Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, dan pengamatan visual.


2) Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.


3) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut, petugas KKP melakukan pemeriksaan dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai (lampiran 11).


4) Pengawasan kedatangan orang dilakukan melalui pengamatan suhu tubuh dengan menggunakan alat pemindai suhu massal (thermal scanner) ataupun thermometer infrared, serta melalui pengamatan visual terhadap pelaku perjalanan yang menunjukkan ciri-ciri penderita COVID-19.


5) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared maka pisahkan dan lakukan wawancara dan evaluasi lebih lanjut.


Jika memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan maka dilakukan:


1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien termasuk disinfeksi pasien dan merujuk ke RS rujukan (lihat Kepmenkes Nomor 414/Menkes/SK/IV/2007 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Flu Burung/Avian Influenza) dengan menggunakan ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) berbasis kontak, droplet, dan airborne.


2) Melakukan tindakan penyehatan terhadap barang dan alat angkut


3) Mengidentifikasi penumpang lain yang berisiko (kontak erat)


4) Terhadap kontak erat (dua baris depan belakang kanan kiri) dilakukan observasi menggunakan formulir (lampiran 2)


5) Melakukan pemantauan terhadap petugas yang kontak dengan pasien. Pencacatan pemantauan menggunakan formulir terlampir (lampiran 3)


6) Pemberian HAC dan komunikasi risiko


7) Notifikasi ≤ 24 jam ke Ditjen P2P melalui PHEOC ditembuskan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan dilakukan pencatatan menggunakan formulir notifikasi (lampiran 1). Notifikasi ke Dinas Kesehatan dimaksudkan untuk koordinasi pemantauan kontak erat.


Bila memenuhi kriteria orang dalam pemantauan maka dilakukan:


1) Tatalaksana sesuai diagnosis yang ditetapkan


2) Orang tersebut dapat dinyatakan laik/tidak laik melanjutkan perjalanan dengan suatu alat angkut sesuai dengan kondisi hasil pemeriksaan


3) Pemberian HAC dan komunikasi risiko mengenai infeksi COVID-19, informasi bila selama masa inkubasi mengalami gejala perburukan maka segera memeriksakan ke fasyankes dengan menunjukkan HAC kepada petugas kesehatan. Selain itu pasien diberikan edukasi untuk isolasi diri (membatasi lingkungan di rumah) dan akan dilakukan pemantauan dan pengambilan spesimen oleh petugas kesehatan.


4) KKP mengidentifikasi daftar penumpang pesawat. Hal ini dimaksudkan bila pasien tersebut mengalami perubahan manifestasi klinis sesuai definisi operasional pasien dalam pengawasan maka dapat dilakukan pemantauan terhadap kontak erat


5) Notifikasi ≤ 24 jam ke Dinkes Prov dan Kab/Kota (lampiran 1) untuk dilakukan pemantauan di tempat tinggal.


6) Pengambilan spesimen oleh tenaga kesehatan terlatih dan berkompeten di klinik pintu masuk atau tempat pelaksanaan pemantauan. Pengambilan dan pengiriman specimen berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.


Pada penumpang dan kru lainnya yang tidak berisiko dan tidak bergejala juga dilakukan pemeriksaan suhu menggunakan thermal scanner, pemberian HAC, notifikasi ke wilayah dan komunikasi risiko. Kegiatan surveilans merujuk pada kegiatan surveilans bagi pelaku perjalanan dari area/negara terjangkit.


Alur penemuan kasus dan respon di pintu masuk dapat dilihat pada gambar 2.1.


2.3.2 Deteksi Dini dan Respon di Wilayah

Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans rutin dan surveilans berbasis kejadian yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan adanya indikasi pasien dalam pengawasan COVID-19 yang harus segera direspon. Adapun bentuk respon dapat berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan epidemiologi. Sedangkan, kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan, komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan.


2.3.2.1 Kesiapsiagaan di Wilayah
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi infeksi COVID-19 maka Pusat dan Dinkes melakukan kesiapan sumber daya sebagai berikut:

a. Sumber Daya Manusia (SDM)
  • Mengaktifkan TGC yang sudah ada baik di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota.
  • Meningkatkan kapasitas SDM dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan sosialisasi, table top exercises/drilling dan simulasi COVID-19.
  • Meningkatkan jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan lintas sektor terkait.



b. Sarana dan Prasarana
  • Kesiapan alat transportasi (ambulans) dan memastikan dapat berfungsi dengan baik untuk merujuk kasus.
  • Kesiapan sarana pelayanan kesehatan antara lain meliputi tersedianya ruang isolasi untuk melakukan tatalaksana, alat-alat kesehatan dan sebagainya.
  • Kesiapan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
  • Kesiapan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life saving), alat-alat kesehatan, APD serta melengkapi logistik lainnya.
  • Kesiapan bahan-bahan KIE antara lain brosur, banner, leaflet serta media untuk melakukan komunikasi risiko terhadap masyarakat.
  • Kesiapan pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan RS.



c. Pembiayaan


Bagi pasien dalam pengawasan yang dirawat di RS rujukan maka pembiayaan perawatan RS ditanggung oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sebagaimana diatur dalam Permenkes Nomor 59 tahun 2016 tentang Pembebasan Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu dan Kepmenkes Nomor: HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV) Sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.


2.3.2.2 Deteksi Dini dan Respon di Wilayah
Kegiatan penemuan kasus COVID-19 wilayah dilakukan melalui penemuan orang sesuai definisi operasional. Penemuan kasus dapat dilakukan di puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lain.


Bila fasyankes menemukan orang yang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan maka perlu melakukan kegiatan sebagai berikut:


1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien dan rujuk ke RS rujukan menggunakan mobil ambulans


2) Memberikan komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19


3) Fasyankes segera melaporkan dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes Kab/Kota setempat. Selanjutnya Dinkes Kab/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi yang kemudian diteruskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC dan KKP setempat. Menggunakan form notifikasi (lampiran 4)


4) Melakukan penyelidikan epidemiologi selanjutnya, mengidentifikasi dan pemantauan kontak erat


5) Pengambilan spesimen dilakukan di RS rujukan yang selanjutnya RS berkoordinasi dengan Dinkes setempat untuk pengiriman sampel dengan menyertakan formulir penyelidikan epidemiologi (lampiran 5), formulir pengiriman specimen (lampiran 6).


Bila memenuhi kriteria orang dalam pemantauan maka dilakukan:


1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien


2) Komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19


3) Pasien melakukan isolasi diri di rumah tetapi tetap dalam pemantauan petugas kesehatan puskesmas berkoordinasi dengan Dinkes setempat


4) Fasyankes segera melaporkan secara berjenjang dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes Kabupaten/Kota/Provinsi.


5) Pengambilan spesimen di fasyankes atau lokasi pemantauan


Bila kasus tidak memenuhi kriteria definisi operasional maka dilakukan:


1) Tatalaksana sesuai kondisi pasien


2) Komunikasi risiko kepada pasien


Alur penemuan kasus dan respon di wilayah dapat dilihat pada gambar 2.1.


Deteksi di wilayah juga perlu memperhatikan adanya kasus kluster yaitu bila terdapat dua orang atau lebih memiliki penyakit yang sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja dan sebagainya.


Adapun, detail kegiatan deteksi dini dan respon untuk masing-masing instansi dapat dilihat pada tabel 2.2.


Jika dilaporkan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point negara lain maka informasi awal yang diterima oleh Dirjen P2P akan diteruskan ke PHEOC untuk dilakukan pelacakan.


1. Bila data yang diterima meliputi: nama, nomor paspor, dan angkutan keberangkatan dr negara asal menuju pintuk masuk negara (bandara, pelabuhan, dan PLBDN) maka dilakukan:
  • PHEOC meminta KKP melacak melalui HAC atau jejaring yg dimiliki KKP tentang identitas orang tersebut sampai didapatkan alamat dan no. telpon/HP.
  • Bila orang yang dinotifikasi belum tiba di pintu masuk negara maka KKP segera menemui orang tersebut kemudian melakukan tindakan sesuai SOP.
  • Bila orang tersebut sudah melewati pintu masuk negara maka KKP melaporkan ke PHEOC perihal identitas dan alamat serta no. telpon/HP yang dapat dihubungi.
  • PHEOC meneruskan informasi tersebut ke wilayah (Dinkes) dan KKP setempat untuk dilakukan pelacakan dan tindakan sesuai SOP.



2. Bila data yang diterima hanya berupa nama dan nomor paspor maka dilakukan:
  • PHEOC menghubungi contact person (CP) di Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi Keimigrasian (dapat langsung menghubungi direktur atau eselon dibawahnya yang telah diberi wewenang) untuk meminta data identitas lengkap dan riwayat perjalanan.
  • Setelah PHEOC mendapatkan data lengkap, PHEOC meneruskan ke wilayah (Dinkes)dan KKP setempat untuk melacak dan melakukan tindakan sesuai SOP.
Alur pelacakan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point negara lain ini dapat dilihat pada lampiran 10.

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Gambar 2.1 Alur Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk dan Wilayah



Upaya deteksi dini dan respon di wilayah melibatkan peran berbagai sektor, yang dijelaskan pada tabel berikut:

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Tabel 2.1 Kegiatan Deteksi Dini dan Respon di Wilayah


2.4 Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB

Setiap pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan, maupun probabel harus dilakukan penyelidikan epidemiologi. Kegiatan penyelidikan epidemiologi dilakukan terutama untuk menemukan kontak erat (lampiran 8). Hasil penyelidikan epidemiologi dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam rangka penanggulangan atau pemutusan penularan secara lebih cepat.


2.4.1 Definisi KLB

Jika ditemukan satu kasus konfirmasi COVID-19 maka dinyatakan sebagai KLB.


2.4.2 Tujuan Penyelidikan Epidemiologi

Penyelidikan epidemiologi dilakukan dengan tujuan mengetahui besar masalah KLB dan mencegah penyebaran yang lebih luas. Secara khusus tujuan penyelidikan epidemiologi sebagai berikut:


a. Mengetahui karakteristik epidemiologi, gejala klinis dan virus


b. Mengidentifikasi faktor risiko


c. Mengidentifikasi kasus tambahan


d. Memberikan rekomendasi upaya penanggulangan


2.4.3 Tahapan Penyelidikan Epidemiologi

Langkah penyelidikan epidemiologi untuk kasus COVID-19 sama dengan penyelidikan KLB pada untuk kasus Mers. Tahapan penyelidikan epidemiologi secara umum meliputi:


1. Konfirmasi awal KLB


Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans puskesmas/Dinas Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk memastikan adanya kasus konfirmasi COVID-19 dengan cara wawancara dengan petugas puskesmas atau dokter yang menangani kasus.


2. Pelaporan segera


Mengirimkan laporan W1 ke Dinkes Kab/Kota dalam waktu <24 br="" dan="" dinkes="" diteruskan="" jam="" kab="" ke="" kemudian="" oleh="" ota="" pheoc.="" provinsi="">

3. Persiapan penyelidikan


a. Persiapan formulir penyelidikan sesuai form terlampir (lampiran 5)


b. Persiapan Tim Penyelidikan


c. Persiapan logistik (termasuk APD) dan obat-obatan jika diperlukan


4. Penyelidikan epidemiologi


a. Identifikasi kasus


b. Identifikasi faktor risiko


c. Identifikasi kontak erat


d. Pengambilan spesimen di rumah sakit rujukan


e. Penanggulangan awal


Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus memulai upaya- upaya pengendalian pendahuluan dalam rangka mencegah terjadinya penyebaran penyakit kewilayah yang lebih luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan saat itu. Upaya- upaya tersebut dilakukan terhadap masyarakat maupun lingkungan, antara lain dengan:

  • Menjaga kebersihan/ higiene tangan, saluran pernapasan.
  • Penggunaan APD sesuai risiko pajanan.
  • Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang sedang diselidiki dan bila tak terhindarkan buat jarak dengan kasus.
  • Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh.
  • Apabila diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit dapat dilakukan tindakan isolasi dan karantina.



5. Pengolahan dan analisis data


6. Penyusunan laporan penyelidikan epidemiologi


2.5 Pelacakan Kontak Erat

Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact listing) dan tindak lanjut kontak (contact follow up). Algoritma pelacakan kontak (lampiran 8).


1. Identifikasi Kontak


Identifikasi kontak merupakan bagian dari investigasi kasus. Jika ditemukan kasus COVID-19 yang memenuhi kriteria pasien dalam pengawasan, kasus konfirmasi, atau kasus probable, maka perlu segera untuk dilakukan identifikasi kontak erat. Identifikasi kontak erat ini bisa berasal dari kasus yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal terutama untuk mencari penyebab kematian yang mungkin ada kaitannya dengan COVID- 19.


Informasi yang perlu dikumpulkan pada fase identifikasi kontak adalah orang yang mempunyai kontak dengan kasus dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala, yaitu


a. Semua orang yang berada di lingkungan tertutup yang sama dengan kasus (rekan kerja, satu rumah, sekolah, pertemuan)


b. Semua orang yang mengunjungi rumah kasus baik saat di rumah ataupun saat berada di fasilitas layanan kesehatan


c. Semua tempat dan orang yang dikunjungi oleh kasus seperti kerabat, spa dll.


d. Semua fasilitas layanan kesehatan yang dikunjungi kasus termasuk seluruh petugas kesehatan yang berkontak dengan kasus tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) yang standar.


e. Semua orang yang berkontak dengan jenazah dari hari kematian sampai dengan penguburan.


f. Semua orang yang bepergian bersama dengan segala jenis alat angkut/kendaraan (kereta, angkutan umum, taxi, mobil pribadi, dan sebagainya)


Informasi terkait paparan ini harus selalu dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan konsistensi dan keakuratan data untuk memperlambat dan memutus penularan penyakit. Untuk membantu dalam melakukan identifikasi kontak dapat menggunakan tabel formulir identifikasi kontak erat (lampiran 12).

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/



2. Pendataan Kontak Erat


Semua kontak erat yang telah diidentifikasi selanjutnya dilakukan wawancara secara lebih detail dan mendata hal-hal berikut ini yaitu


a. Identitas lengkap nama lengkap, usia, alamat lengkap, alamat kerja, nomer telepon, nomer telepon keluarga, penyakit penyerta (komorbid), dan sebagainya sesuai dengan formulir pelacakan kontak erat (lampiran 13).


b. selanjutnya petugas harus juga menyampaikan kepada kontak erat
  • Maksud dari upaya pelacakan kontak ini
  • Rencana monitoring harian yang akan dilakukan
  • Informasi untuk segera menghubungi fasilitas layanan kesehatan terdekat jika muncul gejala dan bagaimana tindakan awal untuk mencegah penularan.



c. Berikan saran-saran berikut ini
  • Membatasi diri untuk tidak bepergian semaksimal mungkin atau kontak dengan orang lain.
  • Laporkan sesegera mungkin jika muncul gejala seperti batuk, pilek, sesak nafas, dan gejala lainnya melalui kontak tim monitoring. Sampaikan bahwa semakin cepat melaporkan maka akan semakin cepat mendapatkan tindakan untuk mencegah perburukan.



3. Tindak Lanjut Kontak Erat


a. Petugas surveilans yang telah melakukan kegiatan identifikasi kontak dan pendataan kontak akan mengumpulkan tim baik dari petugas puskesmas setempat, kader, relawan dari PMI dan pihak-pihak lain terkait. Pastikan petugas yang memantau dalam kondisi fit dan tidak memiliki penyakit komorbid. Alokasikan satu hari untuk menjelaskan cara melakukan monitoring, mengenali gejala, tindakan observasi rumah, penggunaan APD (lampiran 11) dan tindakan pencegahan penularan penyakit lain serta promosi kesehatan untuk masyarakat di lingkungan.


b. Komunikasi risiko harus secara pararel disampaikan kepada masyarakat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya stigma dan diskriminasi akibat ketidaktahuan.


c. Petugas surveilans provinsi bertindak sebagai supervisor bagi petugas surveilans kab/kota. Petugas surveilans kab/kota bertindak sebagai supervisor untuk petugas puskesmas.


d. Laporan dilaporkan setiap hari untuk menginformasikan perkembangan dan kondisi terakhir dari kontak erat.


e. Setiap petugas harus memiliki pedoman kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 yang didalamnya sudah tertuang pelacakan kontak dan tindakan yang harus dilakukan jika kontak erat muncul gejala. Petugas juga harus proaktif memantau dirinya sendiri.


4. Setelah melakukan orientasi, maka tim monitoring kontak sebaiknya dibekali alat-alat berikut ini,


a. Formulir pendataan kontak (lampiran 14)


b. Formulir monitoring harian kontak (lampiran 2)


c. Pulpen


d. Termometer (menggunakan thermometer tanpa sentuh jika tersedia)


e. Hand sanitizer (cairan untuk cuci tangan berbasis alkohol)


f. Informasi KIE tentang Covid-19


g. Panduan pencegahan penularan di lingkungan rumah


h. Panduan alat pelindung diri (APD) untuk kunjungan rumah


i. Daftar nomer-nomer penting


j. Sarung tangan


k. Masker medis


l. Identitas diri maupun surat tugas


m. Alat komunikasi (grup Whatsapp dll)


5. Seluruh kegiatan tatalaksana kontak ini harus dilakukan dengan penuh empati kepada kontak erat, menjelaskan dengan baik, dan tunjukkan bahwa kegiatan ini adalah untuk kebaikan kontak erat serta mencegah penularan kepada orang-orang terdekat (keluarga, saudara, teman dan sebagainya). Diharapkan tim promosi kesehatan juga berperan dalam memberikan edukasi dan informasi yang benar kepada masyarakat.


6. Petugas surveilans kab/kota dan petugas survelans provinsi diharapkan dapat melakukan komunikasi, koordinasi dan evaluasi setiap hari untuk melihat perkembangan dan pengambilan keputusan di lapangan.


2.6 Pencatatan dan Pelaporan

Setiap penemuan kasus baik di pintu masuk negara maupun wilayah harus melakukan pencatatan sesuai dengan formulir (terlampir) dan menyampaikan laporan. Selain formulir untuk kasus, formulir pemantauan kontak erat juga harus dilengkapi. Laporan hasil orang dalam pemantauan, pemantauan kontak erat, dan pemantauan orang dalam observasi/karantina dilaporkan setiap hari oleh petugas surveilans Dinkes setempat secara berjenjang hingga sampai kepada Dirjen P2P cq. PHEOC.


Untuk lebih memudahkan alur pelaporan dapat dilihat pada bagan pengertianartidefinisidari.blogspot.com berikut:
https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/



2.7 Penilaian Risiko

Berdasarkan informasi dari penyelidikan epidemiologi maka dilakukan penilaian risiko cepat meliputi analisis bahaya, paparan/kerentanan dan kapasitas untuk melakukan karakteristik risiko berdasarkan kemungkinan dan dampak. Hasil dari penilaian risiko ini diharapakan dapat digunakan untuk menentukan rekomendasi penanggulangan kasus COVID-19. Penilaian risiko ini dilakukan secara berkala sesuai dengan perkembangan penyakit. Penjelasan lengkap mengenai penilaian risiko cepat dapat mengacu pada pedoman WHO Rapid Risk Assessment of Acute Public Health.


BAB III
MANAJEMEN KLINIS

Manajemen klinis ditujukan bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien ISPA berat baik dewasa dan anak di rumah sakit ketika dicurigai adanya infeksi COVID-19. Bab manifestasi klinis ini tidak untuk menggantikan penilaian klinis atau konsultasi spesialis, melainkan untuk memperkuat manajemen klinis pasien berdasarkan rekomendasi WHO terbaru. Rekomendasi WHO berasal dari publikasi yang merujuk pada pedoman berbasis bukti termasuk rekomendasi dokter yang telah merawat pasien SARS, MERS atau influenza berat.


3.1 Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19

Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 3.1) akan menentukan waktu yang tepat penerapan tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang cepat. Deteksi COVID-19 sesuai dengan definisi operasional surveilans COVID-19. Pertimbangkan COVID-19 sebagai etiologi ISPA berat. Semua pasien yang pulang ke rumah harus memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan. Berikut manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19:
https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/



3.2 Tatalaksana Pasien di Rumah Sakit Rujukan

3.2.1 Terapi Suportif Dini dan Pemantauan

a. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
  • Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥ 92%-95% pada pasien hamil.
  • Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2 ≥94%;
  • Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
  • Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.


b. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa syok.


Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.


c. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.


Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.


d. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.


Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.


e. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.


f. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.


Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.


g. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian dengan fisiologi kehamilan.


Persalinan darurat dan terminasi kehamilan menjadi tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.


3.2.2 Pengumpulan Spesimen Untuk Diagnosis Laboratorium

Penjelasan mengenai bagian ini terdapat pada Bab V. Pengelolaan Spesimen dan Konfirmasi Laboraorium. Pasien konfirmasi COVID-19 (pemeriksaan hari ke-1 dan ke-2 positif) dengan perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dua hari berturut-turut menunjukkan hasil negatif.


3.2.3 Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS

a. Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.


b. Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
  • Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
  • Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS dan pandemi influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV. Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
  • Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien ekspirasi.



c. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.


d. Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 br="" cmh2o="">

Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.


1) Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60]


2) Pilih mode ventilasi mekanik


3) Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8 ml/kg PBW


4) Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW


5) Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit)


6) Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan tekanan plateau Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45.


Protokol ventilasi mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.


e. Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone position > 12 jam per hari


Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.


f. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi jaringan Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.


g. Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah


Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.


h. Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150 br="" dianjurkan="" menggunakan="" obat="" otot.="" pelumpuh="" rutin="" secara="" tidak="">

i. Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung protective ventilation.


Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.


j. Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).



3.2.4 Manajemen Syok Septik

a. Kenali tanda syok septik
  • Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
  • Pasien anak: hipotensi (Tekanan Darah Sistolik (TDS) < persentil 5 atau >2 standar deviasi (SD) di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR < 90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR < 70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.



Keterangan: Apabila tidak ada pemeriksaan laktat, gunakan MAP dan tanda klinis gangguan perfusi untuk deteksi syok. Perawatan standar meliputi deteksi dini dan tatalaksana dalam 1 jam; terapi antimikroba dan pemberian cairan dan vasopresor untuk hipotensi. Penggunaan kateter vena dan arteri berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan pasien.


b. Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan kristaloid isotonik 30 ml/kg. Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal berikan bolus cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan hingga 40-60 ml/kg dalam 1 jam pertama.


c. Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin untuk resusitasi.


d. Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru, gambaran edema paru pada foto toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau hentikan pemberian cairan.
- Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan Ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus tambahan (250-1000 ml pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada anak-anak) berdasarkan respons klinis dan target perfusi. Target perfusi meliputi MAP >65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak), dan menghilangnya mottled skin, perbaikan waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar laktat. - Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan risiko kematian dan acute kidney injury (AKI) dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam meningkatkan volume intravaskular dibandingkan dengan cairan isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan albumin dapat digunakan untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum memiliki bukti yang cukup (low quality evidence).


e. Vasopresor diberikan ketika syok tetap berlangsung meskipun sudah diberikan resusitasi cairan yang cukup. Pada orang dewasa target awal tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada anak disesuaikan dengan usia.


f. Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan melalui intravena perifer, tetapi gunakan vena yang besar dan pantau dengan cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus.


g. Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti dobutamine) jika perfusi tetap buruk dan terjadi disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan vasopresor.
  • Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin) paling aman diberikan melalui kateter vena sentral tetapi dapat pula diberikan melalui vena perifer dan jarum intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin dan titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan mencegah timbulnya efek samping.
  • Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock (lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan warm shock (lebih jarang).



3.2.5 Pencegahan Komplikasi

Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien kritis/berat:
https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Tabel 3.2 Pencegahan Komplikasi



3.2.6 Pengobatan spesifik anti-COVID-19

Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien dalam pengawasan atau konfirmasi COVID-19.


BAB IV
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

Berdasarkan bukti yang tersedia, COVID-19 ditularkan melalui kontak dekat dan droplet, bukan melalui transmisi udara. Orang-orang yang paling berisiko terinfeksi adalah mereka yang berhubungan dekat dengan pasien COVID-19 atau yang merawat pasien COVID-19.


Tindakan pencegahan dan mitigasi merupakan kunci penerapan di pelayanan kesehatan dan masyarakat. Langkah-langkah pencegahan yang paling efektif di masyarakat meliputi:
  • melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat kotor;
  • menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut;
  • terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut dengan lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke tempat sampah;
  • pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan melakukan kebersihan tangan setelah membuang masker;
  • menjaga jarak (minimal 1 m) dari orang yang mengalami gejala gangguan pernapasan.



4.1 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan

Strategi-strategi PPI untuk mencegah atau membatasi penularan di tempat layanan kesehatan meliputi:


1. Menjalankan langkah-langkah pencegahan standar untuk semua pasien


Kewaspadaan standar harus selalu diterapkan di semua fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi semua pasien dan mengurangi risiko infeksi lebih lanjut. Kewaspadaan standar meliputi:


a. Kebersihan tangan dan pernapasan;


Petugas kesehatan harus menerapkan “5 momen kebersihan tangan”, yaitu: sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur kebersihan atau aseptik, setelah berisiko terpajan cairan tubuh, setelah bersentuhan dengan pasien, dan setelah bersentuhan dengan lingkungan pasien, termasuk permukaan atau barang-barang yang tercemar. Kebersihan tangan mencakup:1) mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol; 2) Cuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor; 3) Kebersihan tangan juga diperlukan ketika menggunakan dan terutama ketika melepas APD.


Orang dengan gejala sakit saluran pernapasan harus disarankan untuk menerapkan kebersihan/etika batuk. Selain itu mendorong kebersihan pernapasan melalui galakkan kebiasaan cuci tangan untuk pasien dengan gejala pernapasan, pemberian masker kepada pasien dengan gejala pernapasan, pasien dijauhkan setidaknya 1 meter dari pasien lain, pertimbangkan penyediaan masker dan tisu untuk pasien di semua area.


b. Penggunaan APD sesuai risiko


Penggunaan secara rasional dan konsisten APD, kebersihan tangan akan membantu mengurangi penyebaran infeksi. Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada penilaian risiko/antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan kulit yang terluka.


APD yang digunakan merujuk pada Pedoman Teknis Pengendalian Infeksi sesuai dengan kewaspadaan kontak, droplet, dan airborne. Jenis alat pelindung diri (APD) terkait COVID-19 berdasarkan lokasi, petugas dan jenis aktivitas terdapat pada lampiran. Cara pemakaian dan pelepasan APD baik gown/gaun atau coverall terdapat pada lampiran. COVID-19 merupakan penyakit pernapasan berbeda dengan pneyakit Virus Ebola yang ditularkan melalui cairan tubuh. Perbedaan ini bisa menjadi pertimbangan saat memilih penggunaan gown atau coverall.


c. Pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik


d. Pengelolaan limbah yang aman


Pengelolaan limbah medis sesuai dengan prosedur rutin


e. Pembersihan lingkungan, dan sterilisasi linen dan peralatan perawatan pasien. Membersihkan permukaan-permukaan lingkungan dengan air dan deterjen serta memakai disinfektan yang biasa digunakan (seperti hipoklorit 0,5% atau etanol 70%) merupakan prosedur yang efektif dan memadai.


2. Memastikan identifikasi awal dan pengendalian sumber


Penggunaan triase klinis di fasilitas layanan kesehatan untuk tujuan identifikasi dini pasien yang mengalami infeksi pernapasan akut (ARI) untuk mencegah transmisi patogen ke tenaga kesehatan dan pasien lain. Dalam rangka memastikan identifikasi awal pasien suspek, fasyankes perlu memperhatikan: daftar pertanyaan skrining, mendorong petugas kesehatan untuk memiliki tingkat kecurigaan klinis yang tinggi, pasang petunjuk-petunjuk di area umum berisi pertanyaan-pertanyaan skrining sindrom agar pasien memberi tahu tenaga kesehatan, algoritma untuk triase, media KIE mengenai kebersihan pernapasan. Tempatkan pasien ARI di area tunggu khusus yang memiliki ventilasi yang cukup Selain langkah pencegahan standar, terapkan langkah pencegahan percikan (droplet) dan langkah pencegahan kontak (jika ada kontak jarak dekat dengan pasien atau peralatan permukaan/material terkontaminasi). Area selama triase perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  • Pastikan ada ruang yang cukup untuk triase (pastikan ada jarak setidaknya 1 meter antara staf skrining dan pasien/staf yang masuk
  • Sediakan pembersih tangan alkohol dan masker (serta sarung tangan medis, pelindung mata dan jubah untuk digunakan sesuai penilaian risiko)
  • Kursi pasien di ruang tunggu harus terpisah jarak setidaknya 1m
  • Pastikan agar alur gerak pasien dan staf tetap satu arah
  • Petunjuk-petunjuk jelas tentang gejala dan arah
  • Anggota keluarga harus menunggu di luar area triase-mencegah area triase menjadi terlalu penuh



3. Menerapkan pengendalian administratif


Kegiatan ini merupakan prioritas pertama dari strategi PPI, meliputi penyediaan kebijakan infrastruktur dan prosedur dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan infeksi selama perawatan kesehatan. Kegiatan akan efektif bila dilakukan mulai dari antisipasi alur pasien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan.


Pengendalian administratif dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan meliputi penyediaan infrastruktur dan kegiatan PPI yang berkesinambungan, pembekalan pengetahuan petugas kesehatan, mencegah kepadatan pengunjung di ruang tunggu, menyediakan ruang tunggu khusus untuk orang sakit dan penempatan pasien rawat inap, mengorganisir pelayanan kesehatan agar persedian perbekalan digunakan dengan benar, prosedur–prosedur dan kebijakan semua aspek kesehatan kerja dengan penekanan pada surveilans ISPA diantara petugas kesehatan dan pentingnya segera mencari pelayanan medis, dan pemantauan kepatuhan disertai dengan mekanisme perbaikan yang diperlukan.


Langkah penting dalam pengendalian administratif, meliputi identifikasi dini pasien dengan ISPA/ILI baik ringan maupun berat, diikuti dengan penerapan tindakan pencegahan yang cepat dan tepat, serta pelaksanaan pengendalian sumber infeksi. Untuk identifikasi awal semua pasien ISPA digunakan triase klinis. Pasien ISPA yang diidentifikasi harus ditempatkan di area terpisah dari pasien lain, dan segera lakukan kewaspadaan tambahan. Aspek klinis dan epidemiologi pasien harus segera dievaluasi dan penyelidikan harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium.


4. Menggunakan pengendalian lingkungan dan rekayasa


Kegiatan ini dilakukan termasuk di infrastruktur sarana pelayanan kesehatan dasar dan di rumah tangga yang merawat pasien dengan gejala ringan dan tidak membutuhkan perawatan di RS. Kegiatan pengendalian ini ditujukan untuk memastikan bahwa ventilasi lingkungan cukup memadai di semua area didalam fasilitas pelayanan kesehatan serta di rumah tangga, serta kebersihan lingkungan yang memadai. Harus dijaga jarak minimal 1 meter antara setiap pasien dan pasien lain, termasuk dengan petugas kesehatan (bila tidak menggunakan APD). Kedua kegiatan pengendalian ini dapat membantu mengurangi penyebaran beberapa patogen selama pemberian pelayanan kesehatan.


5. Menerapkan langkah-langkah pencegahan tambahan empiris atas kasus pasien dalam pengawasan dan konfirmasi COVID-19


a. Kewaspadaan Kontak dan Droplet
  • Batasi jumlah petugas kesehatan memasuki kamar pasien COVID-19 jika tidak terlibat dalam perawatan langsung. Pertimbangkan kegiatan gabungan (misal periksa tanda-tanda vital bersama dengan pemberian obat atau mengantarkan makanan bersamaan melakukan perawatan lain).
  • Idealnya pengunjung tidak akan diizinkan tetapi jika ini tidak memungkinkan. batasi jumlah pengunjung yang melakukan kontak dengan suspek atau konfirmasi terinfeksi COVID-19 dan batasi waktu kunjungan. Berikan instruksi yang jelas tentang cara memakai dan melepas APD dan kebersihan tangan untuk memastikan pengunjung menghindari kontaminasi diri
  • Tunjuk tim petugas kesehatan terampil khusus yang akan memberi perawatan kepada pasien terutama kasus probabel dan konfirmasi untuk menjaga kesinambungan pencegahan dan pengendalian serta mengurangi peluang ketidakpatuhan menjalankannya yang dapat mengakibatkan tidak adekuatnya perlindungan terhadap pajanan.
  • Tempatkan pasien pada kamar tunggal. Ruang bangsal umum berventilasi alami ini dipertimbangkan 160 L / detik / pasien. Bila tidak tersedia kamar untuk satu orang, tempatkan pasien-pasien dengan diagnosis yang sama di kamar yang sama. Jika hal ini tidak mungkin dilakukan, tempatkan tempat tidur pasien terpisah jarak minimal 1 meter.
  • Jika memungkinkan, gunakan peralatan sekali pakai atau yang dikhususkan untuk pasien tertentu (misalnya stetoskop, manset tekanan darah dan termometer). Jika peralatan harus digunakan untuk lebih dari satu pasien, maka sebelum dan sesudah digunakan peralatan harus dibersihkan dan disinfeksi (misal etil alkohol 70%). 
  • Petugas kesehatan harus menahan diri agar tidak menyentuh/menggosok– gosok mata, hidung atau mulut dengan sarung tangan yang berpotensi tercemar atau dengan tangan telanjang.
  • Hindari membawa dan memindahkan pasien keluar dari ruangan atau daerah isolasi kecuali diperlukan secara medis. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah bila menggunakan peralatan X-ray dan peralatan diagnostik portabel penting lainnya. Jika diperlukan membawa pasien, gunakan rute yang dapat meminimalisir pajanan terhadap petugas, pasien lain dan pengunjung.
  • Pastikan bahwa petugas kesehatan yang membawa/mengangkut pasien harus memakai APD yang sesuai dengan antisipasi potensi pajanan dan membersihkan tangan sesudah melakukannya.
  • Memberi tahu daerah/unit penerima agar dapat menyiapkan kewaspadaan pengendalian infeksi sebelum kedatangan pasien.
  • Bersihkan dan disinfeksi permukaan peralatan (misalnya tempat tidur) yang bersentuhan dengan pasien setelah digunakan.
  • Semua orang yang masuk kamar pasien (termasuk pengunjung) harus dicatat (untuk tujuan penelusuran kontak).
  • Ketika melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan ke wajah dan/atau badan, maka pemakaian APD harus ditambah dengan: masker bedah dan pelindung mata/ kacamata, atau pelindung wajah; gaun dan sarung tangan.



b. Kewaspadaan Airborne pada Prosedur yang Menimbulkan Aerosol


Suatu prosedur/tindakan yang menimbulkan aerosol didefinisikan sebagai tindakan medis yang dapat menghasilkan aerosol dalam berbagai ukuran, termasuk partikel kecil ( < 5 mkm ). Tindakan kewaspadaan harus dilakukan saat melakukan prosedur yang menghasilkan aerosol dan mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko penularan infeksi, seperti intubasi trakea, ventilasi non invasive, trakeostomi, resusistasi jantung paru, venitilasi manual sebelum intubasi dan bronkoskopi.


Tindakan kewaspadaan saat melakukan prosedur medis yang menimbulkan aerosol:
  • Memakai respirator partikulat seperti N95 sertifikasi NIOSH, EU FFP2 atau setara. Ketika mengenakan respirator partikulat disposable, periksa selalu kerapatannya (fit tes).
  • Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah).
  • Memakai gaun lengan panjang dan sarung tangan bersih, tidak steril, (beberapa prosedur ini membutuhkan sarung tangan steril).
  • Memakai celemek kedap air untuk beberapa prosedur dengan volume cairan yang tinggi diperkirakan mungkin dapat menembus gaun.
  • Melakukan prosedur di ruang berventilasi cukup, yaitu di sarana-sarana yang dilengkapi ventilasi mekanik, minimal terjadi 6 sampai 12 kali pertukaran udara setiap jam dan setidaknya 160 liter/ detik/ pasien di sarana–sarana dengan ventilasi alamiah. 
  • Membatasi jumlah orang yang berada di ruang pasien sesuai jumlah minimum yang diperlukan untuk memberi dukungan perawatan pasien.



kewaspadaan isolasi juga harus dilakukan terhadap suspek dan konfirmasi COVID-19 sampai hasil pemeriksaan laboratorium rujukan negatif.


4.2 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Isolasi di Rumah (Perawatan di Rumah)

Isolasi rumah atau perawatan di rumah dilakukan terhadap orang yang bergejala ringan seperti orang dalam pemantauan dan kontak erat risiko tinggi yang bergejala dengan tetap memperhatikan kemungkinan terjadinya perburukan. Pertimbangan tersebut mempertimbangan kondisi klinis dan keamanan lingkungan pasien. Pertimbangan lokasi dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat.


Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat digunakan untuk pemantauan harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan masyarakat.


Selama proses pemantauan, pasien harus selalu proaktif berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang melakukan pemantauan menggunakan APD minimal berupa masker. Berikut rekomendasi prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi untuk isolasi di rumah:


1. Tempatkan pasien/orang dalam ruangan tersendiri yang memiliki ventilasi yang baik (memiliki jendela terbuka, atau pintu terbuka)


2. Batasi pergerakan dan minimalkan berbagi ruangan yang sama. Pastikan ruangan bersama (seperti dapur, kamar mandi) memiliki ventilasi yang baik.


3. Anggota keluarga yang lain sebaiknya tidur di kamar yang berbeda, dan jika tidak memungkinkan maka jaga jarak minimal 1 meter dari pasien (tidur di tempat tidur berbeda)


4. Batasi jumlah orang yang merawat pasien. Idelanya satu orang yang benar-benar sehat tanpa memiliki gangguan kesehatan lain atau gangguan kekebalan. Pengunjung/penjenguk tidak diizinkan sampai pasien benar-benar sehat dan tidak bergejala.


5. Lakukan hand hygiene (cuci tangan) segera setiap ada kontak dengan pasien atau lingkungan pasien. Lakukan cuci tangan sebelum dan setelah menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah dari kamar mandi, dan kapanpun tangan kelihatan kotor. Jika tangan tidak tampak kotor dapat menggunakan hand sanitizer, dan untuk tangan yang kelihatan kotor menggunakan air dan sabun.


6. Jika mencuci tangan menggunakan air dan sabun, handuk kertas sekali pakai direkomendasikan. Jika tidak tersedia bisa menggunakan handuk bersih dan segera ganti jika sudah basah.


7. Untuk mencegah penularan melalui droplet, masker bedah (masker datar) diberikan kepada pasien untuk dipakai sesering mungkin.


8. Orang yang memberikan perawatan sebaiknya menggunakan masker bedah terutama jika berada dalam satu ruangan dengan pasien. Masker tidak boleh dipegang selama digunakan.Jika masker kotor atau basah segera ganti dengan yang baru. Buang masker dengan cara yang benar (jangan disentuh bagian depan, tapi mulai dari bagian belakang). Buang segera dan segera cuci tangan.


9. Hindari kontak langsung dengan cairan tubuh terutama cairan mulut atau pernapasan (dahak, ingus dll) dan tinja. Gunakan sarung tangan dan masker jika harus memberikan perawatan mulut atau saluran nafas dan ketika memegang tinja, air kencing dan kotoran lain. Cuci tangan sebelum dan sesudah membuang sarung tangan dan masker.


10. Jangan gunakan masker atau sarung tangan yang telah terpakai.


11. Sediakan sprei dan alat makan khusus untuk pasien (cuci dengan sabun dan air setelah dipakai dan dapat digunakan kembali)


12. Bersihkan permukaan di sekitar pasien termasuk toilet dan kamar mandi secara teratur. Sabun atau detergen rumah tangga dapat digunakan, kemudian larutan NaOCl 0.5% (setara dengan 1 bagian larutan pemutih dan 9 bagian air).


13. Bersihkan pakaian pasien, sprei, handuk dll menggunakan sabun cuci rumah tangga dan air atau menggunakan mesin cuci denga suhu air 60-90C dengan detergen dan keringkan. Tempatkan pada kantong khusus dan jangan digoyang-goyang, dan hindari kontak langsung kulit dan pakaian dengan bahan-bahan yang terkontaminasi.


14. Sarung tangan dan apron plastic sebaiknya digunakan saat membersihkan permukaan pasien, baju, atau bahan-bahan lain yang terkena cairan tubuh pasien. Sarung tangan (yang bukan sekali pakai) dapat digunakan kembali setelah dicuci menggunakan sabun dan air dan didekontaminasi dengan larutan NaOCl 0.5%. Cuci tangan sebelum dan setelah menggunakan sarung tangan.


15. Sarung tangan, masker dan bahan-bahan sisa lain selama perawatan harus dibuang di tempat sampah di dalam ruangan pasien yang kemudian ditutup rapat sebelum dibuang sebagai kotoran infeksius.


16. Hindari kontak dengan barang-barang terkontaminasi lainya seperti sikat gigi, alat makan-minum, handuk, pakaian dan sprei)


17. Ketika petugas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan rumah, maka selalu perhatikan APD dan ikut rekomendasi pencegahan penularan penyakit melalui droplet


4.3 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Observasi

Observasi dalam hal ini karantina dilakukan terhadap kontak erat untuk mewaspadai munculnya gejala sesuai definisi operasional. Lokasi observasi dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat. Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat digunakan untuk observasi harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan masyarakat.


Kontak erat risiko rendah sebaiknya membatasi diri dan tidak bepergian ke tempat umum. Kontak erat risiko tinggi harus menjaga jarak sosial.


Setiap akan melakukan observasi maka harus mengkomunikasikan dan mensosialisasikan tindakan yang akan dilakukan dengan benar, untuk mengurangi kepanikan dan meningkatkan kepatuhan:


a. Masyarakat harus diberikan pedoman yang jelas, transparan, konsisten, dan terkini serta diberikan informasi yang dapat dipercaya tentang tindakan observasi;


b. Keterlibatan masyarakat sangat penting jika tindakan observasi harus dilakukan;


c. Orang yang di observasi perlu diberi perawatan kesehatan, dukungan sosial dan psikososial, serta kebutuhan dasar termasuk makanan, air dan kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan populasi rentan harus diprioritaskan;


d. Faktor budaya, geografis dan ekonomi mempengaruhi efektivitas observasi. Penilaian cepat terhadap faktor lokal harus dianalisis, baik berupa faktor pendorong keberhasilan maupun penghambat proses observasi.


Pada pelaksanaan observasi harus memastikan hal-hal sebagai berikut:


1. Tata cara observasi dan perlengkapan selama masa observasi


Tatacara observasi meliputi:


a. Orang-orang ditempatkan di ruang dengan ventilasi cukup serta kamar single yang luas yang dilengkapi dengan toilet. jika kamar single tidak tersedia pertahankan jarak minimal 1 meter dari penghuni rumah lain. meminimalkan penggunaan ruang bersama dan penggunaan peralatan makan bersama, serta memastikan bahwa ruang bersama (dapur, kamar mandi) memiliki ventilasi yang baik.


b. pengendalian infeksi lingkungan yang sesuai, seperti ventilasi udara yang memadai, sistem penyaringan dan pengelolaan limbah


c. pembatasan jarak sosial (lebih dari 1 meter) terhadap orang-orang yang diobservasi;


d. akomodasi dengan tingkat kenyamanan yang sesuai termasuk:
  • penyediaan makanan, air dan kebersihan;
  • perlindungan barang bawaan;
  • perawatan medis;
  • komunikasi dalam bahasa yang mudah dipahami mengenai: hak-hak mereka; ketentuan yang akan disediakan; berapa lama mereka harus tinggal; apa yang akan terjadi jika mereka sakit; informasi kontak kedutaan



e. bantuan bagi para pelaku perjalanan


f. bantuan komunikasi dengan anggota keluarga;


g. jika memungkinkan, akses internet, berita dan hiburan;


h. dukungan psikososial; dan


i. pertimbangan khusus untuk individu yang lebih tua dan individu dengan kondisi komorbid, karena berisiko terhadap risiko keparahan penyakit COVID-19.


2. Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Minimal


Berikut langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus digunakan untuk memastikan lingkungan aman digunakan sebagai tempat observasi


a. Deteksi dini dan pengendalian
  • Setiap orang yang dikarantina dan mengalami demam atau gejala sakit pernapasan lainnya harus diperlakukan sebagai suspect COVID-19;
  • Terapkan tindakan pencegahan standar untuk semua orang dan petugas:
    • Cuci tangan sesering mungkin, terutama setelah kontak dengan saluran pernapasan, sebelum makan, dan setelah menggunakan toilet. Cuci tangan dapat dilkukan dengan sabun dan air atau dengan hand sanitizer yang mengandung alkohol. Peggunaan hand sanitizer yang mengandung alkohol lebih disarankan jika tangan tidak terlihat kotor. Bila tangan terlihat kotor, cucilah tangan menggunakan sabun dan air
    • Pastikan semua orang yang diobservasi menerapkan etika batuk
    • Sebaiknya jangan menyentuh mulut dan hidung;
  • Masker tidak diperlukan untuk orang yang tidak bergejala. Tidak ada bukti bahwa menggunakan masker jenis apapun dapat melindungi orang yang tidak sakit.



b. Pengendalian administratif


Pengendalian administratif meliputi:
  • Pembangunan infrastruktur PPI yang berkelanjutan (desain fasilitas) dan kegiatan;
  • Memberikan edukasi pada orang yang diobservasi tentang PPI; semua petugas yang bekerja perlu dilatih tentang tindakan pencegahan standar sebelum pengendalian karantina dilaksanakan. Saran yang sama tentang tindakan pencegahan standar harus diberikan kepada semua orang pada saat kedatangan. Petugas dan orang yang diobservasi harus memahami pentingnya segera mencari pengobatan jika mengalami gejala;
  • Membuat kebijakan tentang pengenalan awal dan rujukan dari kasus COVID- 19.



c. Pengendalian Lingkungan


Prosedur pembersihan dan disinfeksi lingkungan harus diikuti dengan benar dan konsisten. Petugas kebersihan perlu diedukasi dan dilindungi dari infeksi COVID- 19 dan petugas kebebersihan harus memastikan bahwa permukaan lingkungan dibersihkan secara teratur selama periode observasi:
  • Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti meja, rangka tempat tidur, dan perabotan kamar tidur lainnya setiap hari dengan disinfektan rumah tangga yang mengandung larutan pemutih encer (pemutih 1 bagian hingga 99 bagian air). Untuk permukaan yang tidak mentolerir pemutih maka dapat menggunakan etanol 70%;
  • Bersihkan dan disinfeksi permukaan kamar mandi dan toilet setidaknya sekali sehari dengan disinfektan rumah tangga yang mengandung larutan pemutih encer (1 bagian cairan pemutih dengan 99 bagian air);
  • Membersihkan pakaian, seprai, handuk mandi, dan lain-lain, menggunakan sabun cuci dan air atau mesin cuci di 60–90 °C dengan deterjen biasa dan kering ;
  • Harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk memastikan sampah dibuang di TPA yang terstandar, dan bukan di area terbuka yang tidak diawasi;
  • Petugas kebersihan harus mengenakan sarung tangan sekali pakai saat membersihkan atau menangani permukaan, pakaian atau linen yang terkotori oleh cairan tubuh, dan harus melakukan kebersihan tangan sebelum dan sesudah melepas sarung tangan.


4.4 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes Pra Rujukan

1. Penanganan Awal lsolasi dan Penanganan Kasus Awal yang sudah dilakukan wawancara dan anamnesa dan dinyatakan sebagai pasien dalam pengawasan segera dilakukan isolasi di RS rujukan untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut.

a. Pasien dalam pengawasan ditempatkan dalam ruang isolasi sementara yang sudah ditetapkan, yakni:
  • Pasien dalam pengawasan menjaga jarak lebih dari 1 meter satu sama lain dalam ruangan yang sama.
  • Terdapat kamar mandi khusus yang hanya digunakan oleh pasien dalam pengawasan.

b. Petugas kesehatan menginstruksikan pasien dalam pengawasan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  • Menggunakan masker medis ketika menunggu untuk dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang diganti secara berkala atau apabila telah kotor.
  • Tidak menyentuh bagian depan masker dan apabila tersentuh wajib menggunakan sabun dan air atau pembersih berbahan dasar alkohol.
  • Apabila tidak menggunakan masker, tetap menjaga kebersihan pernapasan dengan menutup mulut dan hidung ketika batuk dan bersin dengan tisu atau lengan atas bagian dalam. Diikuti dengan membersihkan tangan menggunakan pembersih berbahan dasar alkohol atau sabun dan air.



c. Petugas kesehatan harus menghindari masuk ke ruang isolasi sementara. Apabila terpaksa harus masuk, maka wajib mengikuti prosedur sebagai berikut:
  • Petugas menggunakan APD lengkap.
  • Membersihkan tangan menggunakan pembersih berbahan dasar alkohol atau sabun dan air sebelum dan sesudah memasuki ruang isolasi.


d. Tisu, masker, dan sampah lain yang berasal dari dari ruang isolasi sementara harus ditempatkan dalam kontainer tertutup dan dibuang sesuai dengan ketentuan nasional untuk limbah infeksius.


e. Permukaan yang sering disentuh di ruang isolasi harus dibersihkan menggunakan desinfektan setelah ruangan selesai digunakan oleh petugas yang menggunakan alat pelindung diri (APD) yang memadai.


f. Pembersihan dilakukan dengan menggunakan desinfektan yang mengandung 0.5% sodium hypochlorite (yang setara dengan 5000 ppm atau perbandingan 1/9 dengan air).


2. Penyiapan Transportasi Untuk Rujukan Ke RS Rujukan


a. Menghubungi RS rujukan untuk memberikan informasi pasien dalam pengawasan yang akan dirujuk.


b. Petugas yang akan melakukan rujukan harus secara rutin menerapkan kebersihan tangan dan mengenakan masker dan sarung tangan medis ketika membawa pasien ke ambulans.
  • Jika merujuk pasien dalam pengawasan COVID-19 maka petugas menerapkan kewaspadaan kontak, droplet dan airborne. 
  • APD harus diganti setiap menangani pasien yang berbeda dan dibuang dengan benar dalam wadah dengan penutup sesuai dengan peraturan nasional tentang limbah infeksius.


c. Pengemudi ambulans harus terpisah dari kasus (jaga jarak minimal satu meter). Tidak diperlukan APD jika jarak dapat dipertahankan. Bila pengemudi juga harus membantu memindahkan pasien ke ambulans, maka pengemudi harus menggunakan APD yang sesuai lampiran 16)


d. Pengemudi dan perawat pendamping rujukan harus sering membersihkan tangan dengan alkohol dan sabun.


e. Ambulans atau kendaraan angkut harus dibersihkan dan didesinfeksi dengan perhatian khusus pada area yang bersentuhan dengan pasien dalam pengawasan. Pembersihan menggunakan desinfektan yang mengandung 0,5% natrium hipoklorit (yaitu setara dengan 5000 ppm) dengan perbandingan 1 bagian disinfektan untuk 9 bagian air.


4.5 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Penanganan Kargo

  • Memakai masker apapun jenisnya tidak dianjurkan saat menangani kargo dari negara/area yang terjangkit.
  • Sarung tangan tidak diperlukan kecuali digunakan untuk perlindungan terhadap bahaya mekanis, seperti saat memanipulasi permukaan kasar.
  • Penggunaan sarung tangan harus tetap menerapkan kebersihan tangan
  • Sampai saat ini, tidak ada informasi epidemiologis yang menunjukkan bahwa kontak dengan barang atau produk yang dikirim dari negara/area terjangkit- menjadi sumber penyakit COVID-19 pada manusia.



4.6 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Pemulasaran Jenazah

Langkah-langkah pemulasaran jenazah pasien terinfeksi COVID-19 dilakukan sebagai berikut:
  • Petugas kesehatan harus menjalankan kewaspadaan standar ketika menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular.
  • APD lengkap harus digunakan petugas yang menangani jenazah jika pasien tersebut meninggal dalam masa penularan.
  • Jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah.
  • Jangan ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar kantong jenazah.
  • Pindahkan sesegera mungkin ke kamar jenazah setelah meninggal dunia.
  • Jika keluarga pasien ingin melihat jenazah, diijinkan untuk melakukannya sebelum jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah dengan menggunakan APD.
  • Petugas harus memberi penjelasan kepada pihak keluarga tentang penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal dengan penyakit menular. Sensitivitas agama, adat istiadat dan budaya harus diperhatikan ketika seorang pasien dengan penyakit menular meninggal dunia.
  • Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.
  • Jika akan diotopsi harus dilakukan oleh petugas khusus, jika diijinkan oleh keluarga dan Direktur Rumah Sakit.
  • Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.
  • Jenazah hendaknya diantar oleh mobil jenazah khusus.
  • Jenazah sebaiknya tidak lebih dari 4 (empat) jam disemayamkan di pemulasaraan jenazah.



BAB V
PENGELOLAAN SPESIMEN DAN KONFIRMASI LABORATORIUM

Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen berasal dari saluran pernapasan atas, belum tentu mengindikasikan ketiadaan infeksi. Oleh karena itu harus dilakukan pengulangan pengambilan dan pengujian spesimen. Spesimen saluran pernapasan bagian bawah (lower respiratory tract) sangat direkomendasikan pada pasien dengan gejala klinis yang parah atau progresif. Adanya patogen lain yang positif tidak menutup kemungkinan adanya infeksi COVID-19, karena sejauh ini peran koinfeksi belum diketahui.


Pengambilan spesimen pasien dalam pengawasan dan orang dalam pemantauan dilakukan sebanyak dua kali berturut-turut (hari ke-1 dan ke-2 serta bila terjadi kondisi perburukan). Pengambilan spesimen kontak erat risiko tinggi dilakukan pada hari ke-1 dan ke- 14.


5.1 Jenis Spesimen

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Tabel 5.1 Jenis Spesimen Pasien COVID-19






5.2 Pengambilan Spesimen




Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus memperhatikan universal precaution atau kewaspadaan universal untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien ke paramedis maupun lingkungan sekitar. Hal tersebut meliputi:


1. Selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun/desinfektan SEBELUM dan SESUDAH tindakan.


2. Menggunakan APD


Melihat situasi saat ini, mekanisme penularan masih dalam investigasi maka APD yang digunakan untuk pengambilan spesimen adalah APD lengkap dengan menggunakan masker minimal N95.


5.2.1 Bahan Pengambilan spesimen

1. Form Pengambilan Spesimen (lampiran 6)


Dapat ditambah daftar nama pasien (supaya saat pengambilan tidak terjadi kesalahan) jika pasien lebih dari satu.


2. Spesimen Saluran Pernapasan Bawah (Lower Respiratory Tract)


a. Virus Transport Media (VTM)


b. Dapat digunakan dengan beberapa merk komersil yang sudah siap pakai atau dengan mencampur beberapa bahan (Hanks BBS; Antifungal dan Antibiotik dengan komposisi tertentu) untuk disatukan dalam 1 wadah steril.


c. Swab Dacron atau Flocked Swab


d. Tongue Spatel


e. Kontainer Steril untuk Sputum


f. Parafilm


g. Plastik Klip


h. Marker atau Label


3. Spesimen Darah/Serum :


a. Spuit disposable 3ml atau 5 ml atau Sistem Vacutainer


b. Wing needle (jika diperlukan)


c. Kapas alkohol 70%


d. Kapas Kering


e. Vial 1,8 ml atau tabung tutup ulir (wadah Spesimen Serum)


f. Marker atau Label


4. Bahan Pengepakan/Pengiriman Spesimen :


a. Ice pack dan Cold Box (diutamakan sudah menggunakan Sistem tiga lapis)


b. Label Alamat


c. Lakban/Perekat


5.2.2 Tata Cara Pengambilan Spesimen Nasofaring

1. Persiapkan cryotube yang berisi 1,5 ml media transport virus (Hanks BSS + Antibiotika), dapat juga digunakan VTM komersil yang siap pakai (pabrikan).


2. Berikan label yang berisi Nama Pasien dan Kode Nomer Spesimen. Jika label bernomer tidak tersedia maka Penamaan menggunakan Marker/Pulpen pada bagian berwarna putih di dinding cryotube. (Jangan gunakan Medium Hanks Bila telah berubah warna menjadi Kuning).


3. Gunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon steril dengan tangkai plastik atau jenis Flocked Swab (tangkai lebih lentur). Jangan menggunakan swab kapas atau swab yang mengandung Calcium Alginat atau Swab kapas dengan tangkai kayu, karena mungkin mengandung substansi yang dapat menghambat menginaktifasi virus dan dapat menghambat proses pemeriksaan secara molekuler.


4. Pastikan tidak ada Obstruksi (hambatan pada lubang hidung).


5. Masukkan secara perlahan swab ke dalam hidung, pastikan posisi swab pada septum bawah hidung.


6. Masukkan swab secara perlahan-lahan ke bagian nasofaring.
https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Gambar 5.1 Lokasi Pengambilan Nasopharing



7. Swab kemudian dilakukan gerak memutar secara perlahan.


8. Kemudian masukkan sesegera mungkin ke dalam cryotube yang berisi VTM


9. Putuskan tangkai plastik di daerah mulut cryotube agar cryotube dapat ditutup dengan rapat.

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Gambar 5.2 Pemasukkan Swab ke dalam VTM



10. Pastikan label kode spesimen sesuai dengan kode yang ada di formulir/Kuesioner.


11. Cryotube kemudian dililit parafilm dan masukkan ke dalam Plastik Klip. Jika ada lebih dari 1 pasien, maka Plastik Klip dibedakan/terpisah. Untuk menghindari kontaminasi silang.

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/




12. Simpan dalam suhu 4-80C sebelum dikirim. Jangan dibekukan dalam Freezer.


5.2.3 Tata Cara Pengambilan Spesimen Sputum

Pasien berkumur terlebih dahulu dengan air, kemudian pasien diminta mengeluarkan dahaknya dengan cara batuk yang dalam. Sputum ditampung pada wadah steril yang anti bocor. Pengambilan sampel sputum dengan cara induksi dapat menimbulkan risiko infeksi tambahan bagi petugas kesehatan.


5.2.4 Tata Cara Pengambilan Spesimen Serum

Sampel serum berpasangan diperlukan untuk konfirmasi, dengan serum awal dikumpulkan di minggu pertama penyakit dan serum yang kedua idealnya dikumpulkan 2-3 minggu kemudian. Jika hanya serum tunggal yang dapat dikumpulkan, ini harus diambil setidaknya 14 hari setelah onset gejala untuk penentuan kemungkinan kasus. Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan darah whole blood (3-5 mL) dan disentrifus untuk mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL. Sedangkan untuk bayi: Minimal 1 ml whole blood diperlukan untuk pemeriksaan pasien bayi. Jika memungkinkan, mengumpulkan 1 ml serum.


5.3 Pengepakan Spesimen

Spesimen pasien dalam pengawasan, probabel atau dikonfirmasi harus dilakukan tatalaksana sebagai UN3373, "Substansi Biologis, Kategori B", ketika akan diangkut/ditransportasikan dengan tujuan diagnostik atau investigasi. Semua spesimen harus dikemas untuk mencegah kerusakan dan tumpahan. Adapun sistem yang digunakan adalah dengan menggunakan tiga lapis (Three Layer Pacakging) sesuai dengan pedoman dari WHO dan International Air Transport Association (IATA).

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/



5.4 Pengiriman Spesimen

Pengiriman spesimen orang dalam pemantauan dan pasien dalam pengawasan dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan dengan menyertakan formulir pemeriksaan spesimen pasien dalam pengawasan/orang dalam pemantauan (Lampiran 6). Sedangkan pengiriman spesimen pada kontak erat harus menyertakan salinan formulir pemantauan harian (Lampiran 2). Pengiriman ke laboratorium penerima harus memberikan informasi pengiriman spesimen melalui


PHEOC. Untuk wilayah di luar jakarta pengiriman spesimen dapat dilakukan menggunakan jasa kurir door to door. Pada kondisi yang memerlukan pengiriman port to port, dapat melibatkan petugas KKP setempat. Pengiriman port to port hanya dilakukan jika spesimen dikirim ke Balitbangkes oleh petugas Ditjen P2P berkoordinasi dengan PHEOC Ditjen P2P. Pengiriman spesimen sebaiknya dilakukan paling lama 1x24 jam. Spesimen dikirim dan ditujukan ke Laboratorium pemeriksa COVID-19 sesuai dengan wilayah masing-masing (lampiran 17). Sesuai KMK Nomor HK.01.07/MENKES/182/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).


5.5 Konfirmasi Laboratorium

Spesimen yang tiba di laboratorium, akan segera diproses untuk dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan laboratorium terhadap pasien dalam pengawasan COVID-19 dilakukan dengan menggunakan metode RT-PCR dan sekuensing. Adapun algoritma pemeriksaannya adalah sebagai berikut :

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Gambar 5.5 Alur Pemeriksaan Spesimen COVID-19



Apabila hasil pemeriksaan terdapat positif etiologi virus yang lain tetapi negatif COVID- 19 dan memiliki hubungan epidemiologi yang kuat dengan kontak erat atau riwayat perjalanan dari wilayah terjangkit maka harus dilakukan pemeriksaan ulang. Karena kemungkinan terjadinya infeksi sekunder belum diketahui.


Bila spesimen yang diperiksa di laboratorium regional menunjukkan hasil positif maka akan dilakukan konfirmasi ulang oleh Laboratorium Pusat Penyakit Infeksi Prof. Dr. Oemijati – Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan.


Seluruh hasil pemeriksaan laboratorium pemeriksa harus dikirimkan ke Badan Litbabangkes dan Dirjen P2P cq. PHEOC untuk kemudian diteruskan ke Emergency Operation Center (EOC) Pusat Krisis Kesehatan. PHEOC mengirimkan hasil pemeriksaan ke Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit yang merawat kasus. Pelaporan satu pintu ini diharapkan dapat lebih memudahkan berbagai pihak terkait agar dapat berkoordinasi lebih lanjut. Jika hasil pemeriksaan laboratorium positif, IHR Nasional Fokal Poin memberikan notifikasi ke WHO dalam 1x24 jam.

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Tabel 5.2 Perbedaan Kriteria Kasus dalam Konfirmasi Laboratorium



BAB VI
KOMUNIKASI RISIKO DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat (KRPM) merupakan komponen penting yang tidak terpisahkan dalam penanggulangan tanggap darurat kesehatan masyarakat, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. KRPM dapat membantu mencegah infodemic (penyebaran informasi yang salah/hoaks), membangun kepercayaan publik terhadap kesiapsiagaan dan respon pemerintah sehingga masyarakat dapat menerima informasi dengan baik dan mengikuti anjuran pemerintah. Dengan demikian, hal-hal tersebut dapat meminimalkan kesalahpahaman dan mengelola isu/hoaks terhadap kondisi maupun risiko kesehatan yang sedang terjadi.


KRPM menggunakan strategi yang melibatkan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan respon serta mengembangkan intervensi yang dapat diterima dan efektif untuk menghentikan penyebaran wabah yang semakin meluas serta dapat melindungi individu dan komunitas. Di sisi lain, upaya ini juga sangat penting untuk pengawasan, pelaporan kasus, pelacakan kontak, perawatan orang sakit dan perawatan klinis, serta pengumpulan dukungan masyarakat lokal untuk kebutuhan logistik dan operasional.


KRPM yang diadaptasi dari panduan dan pelatihan Risk Communication and Community Engagement, WHO, bertujuan untuk:
  • Menyiapkan strategi komunikasi dengan informasi dan ketidakpastian yang belum diketahui (pemantauan berita/isu di media massa dan media sosial, talking point/standby statement pimpinan/juru bicara, siaran pers, temu media, media KIE untuk informasi dan Frequently Asked Question/FAQ, dll).
  • Mengkaji kapasitas komunikasi nasional dan sub-nasional (individu dan sumberdaya).
  • Mengidentifikasi aktor utama dan membentuk kemitraan dengan komunitas dan swasta.
  • Merencanakan aktivasi dan implementasi rencana kegiatan KRPM
  • Melatih anggota Tim Komunikasi Risiko (yang terdiri dari Humas/Kominfo dan Promosi Kesehatan) sebagai bagian TGC dan staf potensial lainnya tentang rencana dan prosedur KRPM.



6.1 Langkah-Langkah Tindakan di dalam KRPM Bagi Negara-Negara yang Bersiap Menghadapi Kemungkinan Wabah

a. Sistem Komunikasi Risiko
  • Memastikan bahwa pimpinan pemerintah tertinggi setuju untuk memasukkan KRPM dalam kegiatan kesiapsiagaan dan respon serta siap untuk mengeluarkan informasi untuk melindungi kesehatan masyarakat secara cepat, transparan dan mudah diakses.
  • Meninjau rencana KRPM yang ada dan mempertimbangkan untuk penyesuaian wabah infeksi pernapasan/pneumonia.
  • Menyetujui prosedur untuk merilis informasi secara tepat waktu seperti mempersingkat rantai birokrasi izin untuk mengumumkan informasi terkini.
  • Menyiapkan anggaran untuk komunikasi (termasuk ketika terjadi eskalasi kasus).
  • Membentuk Tim KRPM dan menentukan peran serta tanggung jawab.


b. Koordinasi internal dan kemitraan
  • Mengidentifikasi mitra seperti kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi profesi, petugas kesehatan, badan usaha/swasta, dll. Dalam hal ini dapat berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan, biro perjalanan, jejaring RS, dll, apabila wabah terjadi sehingga kemitraan ini harus diaktifkan sebagai tim respon KRPM multisektor.
  • Menilai kapasitas komunikasi dari semua mitra yang relevan dan mengidentifikasi khalayak sasaran dan saluran komunikasi yang digunakan oleh mitra.
  • Merencanakan dan menyepakati peran dan tanggung jawab kegiatan komunikasi melalui SOP (misalnya berbagi tugas dan kewenangan dengan pihak-pihak yang bertindak untuk menginformasikan situasi terkini dan tervalidasi, menentukan topik/ masalah dan target audiens yang ditangani oleh pemangku kepentingan/ mitra, hingga menyesuaikan pesan dan media komunikasinya.



c. Komunikasi publik
  • Mengidentifikasi juru bicara di setiap tingkatan, baik lokal maupun nasional, membuat daftar keahlian para juru bicara dalam mengantisipasi ancaman kesehatan masyarakat, dan, jika dibutuhkan, diberikan pelatihan singkat.
  • Membuat rancangan pola pesan sebelum diinformasikan kepada publik.
  • Mengidentifikasi media utama/mainstream, membuat dan memperbarui daftar jurnalis, serta membina hubungan baik dengan media.
  • Mengidentifikasi media, saluran komunikasi, influencer (tokoh yang berpengaruh) dan nilai jangkauan potensialnya untuk audiens sebagai target potensial. Gunakan saluran dan influencer yang dipercaya dan banyak disukai oleh audiens target.


d. Keterlibatan komunikasi dengan masyarakat yang terdampak
  • Menetapkan metode untuk memahami keprihatinan, sikap, dan kepercayaan audiens utama.
  • Mengidentifikasi sasaran audiens, dan mengumpulkan informasi tentang pengetahuan dan perilakunya (misalnya siapa yang dapat mereka percayai, bagaimana mereka akan menerima informasi, kebiasaan sehari-hari, keprihatinan mereka, dll).
  • Mengidentifikasi influencer (misalnya. tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan, tabib tradisional, dll.) dan jejaring komunitas yang ada (mis. organisasi kemasyarakatan/LSM kesehatan, kelompok perempuan (PKK), serikat pekerja, relawan kesehatan masyarakat/penggerak sosial untuk polio, malaria, HIV) yang dapat digunakan kembali untuk pelibatan masyarakat


e. Mengatasi ketidakpastian, persepsi, dan manajemen informasi yang salah/hoaks
  • Juru bicara dipersiapkan untuk memberikan informasi awal, sebelum memberikan informasi yang lebih detil dengan persetujuan pimpinan.
  • Membangun sistem untuk pemantauan berita/isu dan, jika perlu, memberikan klarifikasi terhadap rumor/isu/hoaks, dan pertanyaan publik yang menjadi topik terhangat.



f. Pengembangan kapasitas
  • Pertimbangkan untuk mengadakan pelatihan yang diperlukan bagi anggota tim KRPM tentang apa yang diketahui dan tidak diketahui tentang COVID-19, rencana dan prosedur saat ini serta persiapan daerah untuk kesiapsiagaan dan respon KPRM.



Pesan kunci yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum di negara yang bersiap menghadapi kemungkinan wabah:


- Mengenali COVID-19 (peneyebab, gejala, tanda, penularan, pencegahan dan pengobatan)


- Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:


a. Health Advice:


1. Melakukan kebersihan tangan rutin, terutama sebelum memegang mulut, hidung dan mata; serta setelah memegang instalasi publik.


2. Mencuci tangan dengan air dan sabun cair serta bilas setidaknya 20 detik. Cuci dengan air dan keringkan dengan handuk atau kertas sekali pakai. Jika tidak ada fasilitas cuci tangan, dapat menggunakan alkohol 70-80% handrub.


3. Menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk menggunakan tisu, atau sisi dalam lengan atas. Tisu yang digunakan dibuang ke tempat sampah dan cuci tangan setelahnya.


4. Ketika memiliki gejala saluran napas, gunakan masker dan berobat ke fasilitas layanan kesehatan.


b. Travel Advice


1. Hindari kontak dengan hewan (baik hidup maupun mati).


2. Hindari mengonsumsi produk hewan mentah atau setengah matang.


3. Hindari mengunjungi pasar basah, peternakan atau pasar hewan.


4. Hindari kontak dekat dengan pasien yang memiliki gejala infeksi saluran napas.


5. Patuhi petunjuk keamanan makanan dan aturan kebersihan.


6. Jika merasa kesehatan tidak nyaman ketika di daerah outbreak terutama demam atau batuk, gunakan masker dan cari layanan kesehatan.


7. Setelah kembali dari daerah outbreak, konsultasi ke dokter jika terdapat gejala demam atau gejala lain dan beritahu dokter riwayat perjalanan serta gunakan masker untuk mencegah penularan penyakit.


6.2 Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon Awal KRPM bagi Negara-Negara dengan Satu atau Lebih Kasus yang Telah Diidentifikasi

Tujuan:
  • Mengadaptasikan dan menerapkan langkah-langkah tindakan dari kesiapsiagaan di atas.
  • Membangun dan/atau memelihara kepercayaan dengan masyarakat/kelompok melalui komunikasi dua arah secara rutin dan melibatkan secara berkesinambung untuk menghindari kesalahpahaman, kesalahan informasi, isu/rumor/hoaks, dan pertanyaan yang sering diajukan.
  • Mendorong orang untuk melakukan upaya pencegahan/perlindungan dari penularan wabah.
  • Mengelola harapan dan mengkomunikasikan ketidakpastian.
  • Mengkoordinasikan dan mendorong kolaborasi di antara para mitra/pemangku kepentingan.
  • Mengkaji persepsi risiko awal dari masyarakat yang terkena dampak dan yang berisiko.
  • Memberikan informasi dan panduan secara berkesinambungan.


Langkah tindakan


a. Sistem Komunikasi Risiko
  • Menyesuaikan rencana KRPM yang sudah tersedia untuk segera dilaksanakan dan mengaktifkan tim KRPM.
  • Mengidentifikasi dan mengaktifkan juru bicara untuk keadaan darurat.
  • Menyusun jadwal untuk kegiatan dan produksi komunikasi (strategi komunikasi).
  • Memantau kegiatan tanggap KRPM dengan mengidentifikasi proses untuk menunda merilis informasi yang dapat menciptakan kebingungan di masyarakat yang terdampak wabah.


b. Koordinasi internal dan kemitraan
  • Mengaktifkan SOP untuk melaksanakan KRPM berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan mitra pemerintah/swasta.
  • Menjalin hubungan untuk operasionalisasi KRPM di tingkat lokal, regional, dan nasional.
  • Menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk komunikasi internal (ke setiap kementerian/lembaga) dan eksternal (kepada publik).
  • Berkoordinasi untuk menyiapkan pesan, konsistensi informasi, dan penyebaran kepada publik.



c. Komunikasi publik
  • Mengumumkan kondisi ancaman kesehatan lebih cepat/awal dan secara berkesinambungan memutakhirkan data/informasi (setelah dilakukan penilaian dan analisis risiko).
  • Segera memberikan informasi terbaru secara terbuka, meskipun tidak lengkap untuk menjelaskan situasi yang terjadi (mengelola ketidakpastian), menyediakan saluran komunikasi yang mudah diakses publik untuk mendapatkan informasi terbaru (misalnya. hotline, situs resmi, media sosial resmi, dll).
  • Menggunakan saluran komunikasi yang terpercaya dan efektif secara rutin untuk dapat dimanfaatkan oleh publik.
  • Mengidentifikasi dan mengaktifkan influencer terpercaya untuk membantu menyebarkan konten positif kepada masyarakat.



d. Keterlibatan komunikasi dengan masyarakat yang terdampak
  • Menganalisis persepsi risiko dengan cepat berdasarkan informasi formal dan informal yang ada.
  • Memetakan publik penerima pesan untuk tanggap cepat komunikasi (misalnya masyarakat yang terdampak, petugas kesehatan, pemimpin politik, lembaga donor, dll).
  • Menerjemahkan materi KIE ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat (baik bahasa lokal maupun nasional) dan menyesuaikan dengan kaidah/literasi bahasa Indonesia.



e. Mengatasi ketidakpastian, persepsi dan manajemen informasi yang salah
  • Mengkomunikasikan informasi yang boleh dan tidak boleh diketahui oleh publik dengan menjelaskan sampai sejauh mana ketidakpastian yang terjadi.
  • Mengaktifkan pemantauan pemberitaan dan isu/rumor, memverifikasi data pemantauan, dan menjalankan mekanisme tanggap KRPM.
  • Memantau pemberitaan dan isu/rumor di media massa dan media sosial, hotline, informasi dari umpan balik petugas kesehatan kepada pasien dan kelompok masyarakat, serta memberikan tanggapan umpan balik untuk menyesuaikan dengan strategi peningkatan kapasitas KRPM.



f. Peningkatan kapasitas
  • Memutakhirkan panduan terbaru untuk para pihak yang terlibat di dalam KRPM.
  • Melatih anggota baru/tambahan dari tim KRPM.
  • Menentukan pemimpin pelatihan, anggota, dan juru bicara yang tercantum di dalam panduan KRPM yang disesuaikan kebutuhan.



Pesan kunci yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum di negara dengan satu atau lebih kasus yang telah diidentifikasi pada dasarnya sama dengan yang negara yang bersiap menghadapi kemungkinan wabah. Selain upaya pencegahan, perlu juga diinformasikan upaya pengendalian antara lain:


- Jika mengalami gejala demam (≥380C) atau ada riwayat demam disertai dengan salah satu gejala gangguan pernapasan seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, sesak napas dan memiliki faktor risiko terjadinya COVID-19 segera mendatangi fasyankes terdekat.


- Informasi hotline:


Masyarakat umum: hotline COVID-19 (telp: 021-5210411/HP 081212123119) Petugas kesehatan: EOC, PHEOC


- Informasi rumah sakit rujukan yang menangani kasus.


Pemerintah perlu mengeluarkan travel advisory ketika sudah dilaporkan ada 1 kasus yang teridentifikasi dan apabila terjadi penambahan kasus maka perlu mempertimbangkan mengeluarkan travel warning bagi pelaku perjalanan.


6.3 Media Promosi Kesehatan

Berikut ini merupakan contoh media promosi kesehatan yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat mengenai infeksi COVID-19.

https://pengertianartidefinisidari.blogspot.com/
Gambar 6.1 Contoh Media Promosi Kesehatan COVID-19

Anda dapat mendownload file yang terdapat pada tulisan pengertianartidefinisidari.blogspot.com diatas dari situs resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia  (Kemkes RI) di https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/REV-03_Pedoman_P2_COVID-19_Maret2020.pdf





KESIMPULAN PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DIEASE (COVID-19) REVISI KE-3 TERBARU

Daftar Pustaka Dari Pedoman Pencegahan Pengendalian Virus Corona yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P):


1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).


2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERSCoV di Indonesia.


3. World Health Organization (WHO). 2020. https://www.who.int/health-topics/coronavirus. Diakses 18 Januari 2020.


4. World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with novel-coronavirus(2019-ncov).https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance- for-human-infection-with-novel-coronavirus-(2019-ncov). Diakses 20 Januari 2020.


5. World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with novel-coronavirus(2019-ncov). https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance- for-human-infection-with-novel-coronavirus-(2019-ncov) Interim 31 Januari 2020. Diakses 31 Januari 2020.


6. World Health Organization (WHO).2020. Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (2019-nCoV) in suspected human cases. https://www.who.int/publications- detail/laboratory-testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-human-cases. Diakses 17Januari 2020


7. World Health Organization (WHO).2020. Clinical management of severe acute Respiratory infection when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. https://www.who.int/internal-publications-detail/clinical-management-of-severe-acute- respiratory-infection-when-novel-coronavirus-(ncov)-infection-is-suspected. Diakses 11 Januari 2020.


8. World Health Organization (WHO).2020. Home care for patients with suspected novel coronavirus (nCoV) infection presenting with mild symptoms and management of contacts. https://www.who.int/internal-publications-detail/home-care-for-patients-with- suspected-novel-coronavirus-(nCoV)-infection-presenting-with-mild-symptoms-and- management-of-contacts. Diakses 20 Januari 2020


9. World Health Organization (WHO).2020. Infection prevention and control during health care when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected. https://www.who.int